BAHAGIA ADALAH PILIHAN HIDUP BERSAMA TUHAN
Aku berkaca, dan aku kelihatan sudah tua, letih oleh kehidupan.
Aku ingin habiskan hari-hariku bersama anak-anakku,
Tapi mereka punya hidup sendiri dan kebahagiaan sendiri.
Aku tidak boleh kecewa kalau mereka bahagia dan aku tinggal sendiri
Malam ini, malam kemarin dan malam esok, aku akan tetap sendiri.
Aku percaya Kau akan menolongku dari kesendirian ini (2 Desember 2010)
Puisi di atas ditulis oleh seorang Ibu, dua tahun sebelum kematiannya. Mendengar salah satu cucu ibu itu membacakan puisi pada hari penguburannya, terlintas dipikiran saya tulisan raja Salomo yang mengatakan bahwa segala sesuatu ada masanya. Ada masa untuk menangis, ada masa untuk tertawa, dstnya (Pengkotbah 3) Seorang ibu di sebelah saya berkata bahwa itu sudah hukum alam: bahwa ketika kita tua, anak-anak akan sibuk dengan hidupnya sendiri dan hanya sesekali menemui orang tua mereka. Teori raja Salomo dan pernyataan ibu bijak tersebut cocok dengan fakta kehidupan yang ada, namun, tidak semua orang bisa menerima kenyataan hukum alam itu akibatnya mereka menjadi tidak bahagia menjalani masa tuanya.
Apakah seseorang bisa bahagia jika kondisi yang dihadapi tidak sesuai dengan keinginan? Jawabannya BISA. Memang tidak mudah, tapi bisa. Happiness is about making a choice. Apapun situasinya manusia dapat meresponinya dengan 2 pilihan: bahagia atau tidak bahagia. Ketika anak saya yang berusia “kepala 3” tidak juga menikah, saya dapat memilih untuk pusing karena `sudah kepala 3` koq tak kunjung menikah, atau saya memilih untuk bersyukur karena anak saya baik-baik saja (dibandingkan dengan yang menikah tapi tidak bahagia).
Seseorang pernah bercerita kepada saya bahwa ibu mertuanya di Malang, Jawa Timur adalah tokoh paling inspiratif buat dia dalam urusan memilih untuk bahagia. Di usianya yang hampir 80 tahun, dia masih hidup bahagia, banyak teman, banyak kegiatan. Hari Senin latihan line dance, Selasa jalan pagi, Rabu latihan poco-poco, Kamis belajar masak di perkumpulan wanita di wihara, Jumat berenang (ya, dia masih kuat berenang perlahan 1 jam nonstop!), Sabtu menghadiri pertemuan ibu-ibu PKK dan Minggu beribadah di gereja. Dia tinggal sendiri bersama seorang pembantu. Padahal, dia sudah menjanda 14 tahun lebih. Anak-anaknya tidak ada yang tinggal se kota. Dia hidup seorang diri, seharusnya dia kesepian, tapi kenyataannya dia bahagia. Dia bahagia karena mau menerima kenyataan dan dengan cepat beradaptasi. Ketika suaminya meninggal, semua barang kenang-kenangan suaminya -pakaian, kamera, motor, dll- dia singkirkan dari rumah dan dibagi-bagikan. Karena dia tidak ingin terus sedih dengan memandang barang-barang yang penuh kenangan tersebut. Dia bahagia karena dia mengambil alih kemudi hidupnya, tidak bergantung pada orang lain. Dia memilih hidup sendiri di Malang ketimbang menerima tawaran anak-anaknya untuk pindah ke Jakarta. Dia bahagia karena dia sadar Tuhan Yesus selalu di hati dan hidupnya.
Ketika kita tetap tabah dan bahagia di tengah kekurangan, kesepian dan kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan, maka kita bisa menjadi inspirasi dan sumber kekuatan bagi orang lain. Saya jelas ingin hidup bahagia, apa pun yang Tuhan berikan. Semoga Anda pun dapat hidup bahagia dengan segala keberadaan dan kejadian dalam hidup Anda.
(J.Th berdasarkan sharing seseorang)