BOLEH KUATIR, TAPI TETAP PERCAYA
Jika kita memang boleh kuatir (seperti yang diusulkan oleh judul renungan ini), mengapa Tuhan Yesus melarangnya (bdk. Mat. 6:24-34)? Ada jenis kekuatiran yang dapat “menolong” kita untuk menyikapi hidup dengan positif. Misalnya, kekuatiran akan ditinggal pesawat mendorong orang untuk tiba lebih awal di bandara. Kekuatiran akan tidak lulus ujian, akan membuat seorang pelajar mempersiapkan ujian sebaik-baiknya. Namun lain halnya jika kekuatiran dibiarkan “membengkak” dan menguasai pikiran dan perasaan. Jenis kekuatiran yang terakhir ini akan membuat kita ragu (bahkan tidak percaya) akan kasih dan kuasa Allah sehingga merenggut sukacita dari hati kita. Inilah kekuatiran yang Tuhan Yesus larang.
Tuhan tahu kekuatiran dapat begitu “mencengkram” kehidupan anak-anak-Nya. Itu sebabnya Ia berkata, “Janganlah kuatir.” Empat kali larangan ini diulangi dalam Matius 6 (ay.25 [2x], 31 dan 34) menunjukkan betapa seriusnya hal kekuatiran. Tidak heran Tuhan Yesus memberikan empat alasan mengapa kita tidak perlu kuatir: pertama, karena kita jauh lebih berharga daripada burung dan bunga bakung. Jika Allah begitu memperhatikan kebutuhan burung-burung dan bunga bakung, apalagi kita manusia yang sangat dikasihi-Nya (ay.25-26, 28-31); kedua, karena kekuatiran tidak memperpanjang usia (ay.27). Besar kemungkinan (dari segi kesehatan), kekuatiran malah “mempersingkat” hidup manusia; ketiga, karena Bapa di Sorga tahu kebutuhan kita (ay.32). Tuhan bukan saja tahu tetapi mau mencukupi apa yang menjadi kebutuhan kita (Mat. 7:11); keempat, karena hari esok mempunyai kesusahannya sendiri (ay.34). Itu artinya, jangan biarkan kekuatiran akan hari esok merusak sukacita kita hari ini.
Sebagai manusia yang lemah, wajar jika kita merasa kuatir. Akan tetapi, sebagai orang Kristen, tentunya tidak wajar jika kita tenggelam di dalam kekuatiran. Tuhan ingin kita belajar berharap kepada-Nya (Mzm. 131:3). Di dalam doa, kita dapat mengungkapkan segala kekuatiran kita kepada Allah (Fil. 4:6-7) dan membiarkan kebenaran firman-Nya menguasai hati dan pikiran kita (Mat. 6:33). Ketika kekuatiran tidak lagi menguasai hidup kita, maka kita dapat menenangkan dan mendiamkan jiwa kita, “seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya” (Mzm. 131:2).