Palungan: Simbol Krisis Kemanusiaan; Individualitis dan Masa Bodoh (Lukas 2:6-7)
by Lim · Published · Updated
01-Des-2019
Di Betlehem masa kini terdapat Church of Nativity (Gereja Kelahiran Kristus). Dibangun pada tahun 330 oleh Alexander Agung. Yustinus Martir pada tahun 150 menuliskan bahwa Kristus lahir di sebuah goa yang secara secara tradisional diyakini adalah Church of Nativity sekarang. Jika benar demikian maka palungan Kristus waktu itu adalah dari batu dan bukan dari kayu! Tetapi palungan dari kayu memiliki dukungan latar belakang budaya yang lebih kuat. Mereka yang melakukan perjalanan pada zaman Perjanjian Baru pada umumnya tidak menyukai tinggal di penginapan karena mempunyai reputasi buruk. Mereka lebih senang menumpang di rumah saudara atau kenalan atau rumah yang direkomendasi oleh orang dari tempat asal. Apalagi budaya hospitality kepada orang asing wujud tertingginya adalah dengan memberi tumpangan menginap (Kej 18:3; Ibr 13:2, 1Pet 4:9; 3Yoh). Data berikutnya adalah rumah-rumah yang agak besar mempunyai 2 lantai. Ruang tamu biasanya adalah di lantai 2. Sedangkan bagian tertentu dari lantai satu seringkali dijadikan kandang binatang peliharaan. Kemungkinan situasi inilah yang terjadi pada Yusuf dan Maria yang sedang membawa Kristus dalam kandungan: mereka mencari tumpangan di rumah-rumah di Betlehem. Karena kandang ada di sekitar rumah, maka palungan terbuat dari kayu juga mempunyai dukungan yang kuat. Mengapa Kristus lahir di kandang dan diletakkan di palungan? Hal ini mengindikasikan kesederhanaan dan kerendahan-hati. Juga merupakan simbol bahwa Kristus datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani dan memberikan nyawaNya bagi banyak orang (Mat 20:28). Dari palunganlah Ia memulai perjalanan ke salib!
Dari sudut pandang respon manusia, Kristus lahir dan diletakkan di palungan merupakan simbol krisis kemanusiaan. Yang pertama adalah individualisme dan ketidak-pedulian. Seharusnya, melihat perempuan muda dengan kandungan yang tua membuat para pemilik rumah atau para tamu yang sudah mendiami ruang tamu jatuh belas kasihan dan berupaya memberi mereka tumpangan. Misalnya di Singapura merupakan kepatutan bahwa orang yang hamil mendapat prioritas tempat duduk di MRT atau bus. Tidak demikian dengan para pemilik rumah dan tamu-tamu di Betlehem waktu itu. Tidak ada yang peduli dan tidak ada tamu yang mau berbagi ruang dengan Yusuf dan Maria sampai Kristus harus lahir di kandang. Ketidakpedulian semacam inilah yang membuat manusia atau sekelompok manusia tidak peduli dengan manusia lainnya sehingga bisa terjadi genosida, peperangan antar bangsa, perdagangan manusia dan kemiskinan. Semua ini karena para korban tidak dipandang lagi sebagai manusia. Yang penting saya dapat untung, yang utama adalah kepentingan saya!
Simbol krisis kemanusian yang kedua adalah alasan agama! Dalam Imamat 12:2-4 disebutkan sebagai hukum agama bahwa perempuan melahirkan menjadi tidak tahir untuk kurun waktu 40 hari. Konsekuensinya apa yang disentuhnya menjadi tidak tahir juga. Jadi para pemilik rumah enggan untuk memberi tumpangan karena kerepotan bagian rumahnya, khususnya ruang tamu akan menjadi tidak tahir. Fanatisme agama atau ekstrimisme agama semacam ini menumpulkan kemanusiaan. Bukan hanya agama, tetapi ideologi, pilihan politik dan kefanatikan terhadap klub olahraga telah berulang kali memakan korban (jiwa).
Dengan demikian dalam rangka Natal, mengingat palungan berarti menjadi momen mawas diri untuk tetap peduli dan tidak egois serta menghindari fanatisme yang tidak manusiawi. Sebaliknya meneladani Kristus yang datang ke dunia, lahir secara sederhana karena peduli kepada kita manusia! (Pdt. Djeffry Hidajat)