AKU PERCAYA! TOLONGLAH AKU YANG TIDAK PERCAYA INI
Ada yang mengatakan, “beriman itu susah-susah gampang.” Bagi sebagian orang beriman itu sulit sekali. Bahkan ada yang menilai jika orang bisa beriman, itu menunjukkan kebodohannya. Bagaimana tidak? “Masa sih tongkat bisa menjadi ular? Masa air laut bisa terbelah menjadi dua dan orang banyak bisa berjalan di dasarnya? Mana mungkin ribuan orang yang kelaparan dapat kenyang hanya dari 5 roti dan 2 ikan? Lagipula, tidak mungkin manusia dapat berjalan di atas air, apalagi hidup lagi setelah mati. Tidak mungkin saya percaya hal-hal itu. Logika saya mengingkarinya. Ilmu pengetahuan menolaknya.” Kira-kira begitulah celoteh sebagian orang yang sulit mempercayai mukjizat dalam Alkitab. Bagi mereka percaya kepada hal-hal tersebut adalah kebodohan. Dan karenanya, mereka sulit beriman.
Bagi sekelompok orang lain, beriman itu mudah sekali. Mereka mengerti bahwa sampai saat ini, manusia dan ilmu pengetahuan belum dapat membuat orang mati jadi hidup. Atau membuat ribuan orang kenyang hanya dengan menggunakan 5 roti dan 2 ikan. Atau membelah air laut dan membuat orang dapat berjalan di dasarnya. Orang-orang ini memahami keterbatasan ilmu pengetahuan dan perkembangan manusia bahwa hal-hal ini adalah mustahil dilakukan oleh kekuatan manusia. Tapi karena yang melakukan adalah Allah dan tidak ada yang mustahil bagi Allah, bagi mereka, hal-hal seperti mukjizat itu biasa-biasa saja untuk dilakukan oleh Allah. Bagi kelompok orang ini, amat masuk akal Allah mampu mengerjakan hal-hal seperti di atas karena memang tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Dan karenanya, mereka dengan mudah dapat beriman kepada Allah.
Tetapi ada juga sekelompok orang yang berada di antara kedua kelompok orang di atas. Kelompok orang ini berada di dalam pergumulan antara beriman dan tidak beriman. Di satu sisi, hati dan pikiran mereka menyetujui bahwa memang tidak ada yang mustahil bagi Allah. Tetapi realitas hidup mereka saat ini berkata lain. “Jika tidak ada yang mustahil bagi Allah, mengapa Ia tidak sembuhkan sakit anak saya? Mengapa Ia biarkan pekerjaan saya gagal? Mengapa Ia biarkan masalah bertubi-tubi mendera hidup saya?” Bagi kelompok orang ini, jika Allah mampu, maka Ia harus! Sebuah pemikiran yang amat salah! Iman pada dasarnya mengakui bahwa Allah adalah Allah dan kita adalah manusia. Iman mengakui keterbatasan diri dan ketidakterbatasan Allah. Dengan kata lain, iman mengajar kita tahu diri di hadapan Allah. Dan iman jugalah yang menolong kita untuk tetap bersimpuh dalam dekat dan dekap bahkan ketika Allah berkata tidak, walau Ia mampu. Iman membawa kita untuk melihat bukan hanya kepada mukjizat-mukjizat Allah yang luar biasa, tetapi juga kepada hati Allah yang selalu baik, walau saat ini kita tidak melihat mukjizat-Nya. Biarlah dengan iman kita belajar untuk berkata: “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (YJ)