ETIKA
Rasul Paulus menutup diskusinya mengenai relasi antara ‘yang kuat’ dengan ‘yang lemah’ di dalam jemaat sepanjang surat Roma pasal 14 di Roma 15:1-3, yaitu bahwa ‘yang kuat’ wajib menanggung kelemahan orang yang lemah dan mencari kesenangan sesamanya tersebut terlebih dahulu, mengikuti Kristus yang juga tidak mencari kesenanganNya sendiri dan yang bahkan rela untuk menanggung cercaan demi orang banyak.
Di sini sebenarnya rasul Paulus menggemakan apa yang ia tulis sebelumnya dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, yaitu mengenai perbedaan antara hak intrinsik orang Kristen (apa yang boleh dan tidak boleh) dengan apa yang sepatutnya orang Kristen lakukan dalam situasi tertentu (1 Korintus 10:23-33). Yaitu, benar bahwa ‘segala sesuatu diperbolehkan’, namun hal itu tidak berarti bahwa orang Kristen dapat berkata atau berbuat apapun seenaknya. Melainkan, sebagai umat Kristiani, kita dipanggil untuk juga mempertimbangkan apakah perkataan atau perbuatan kita akan menjadi batu sandungan bagi baik itu sesama orang Kristen ataupun orang-orang yang belum percaya. Dengan kata lain, etika Kristiani bukanlah sekadar persoalan boleh/tidak boleh, namun juga soal pantas/tidak pantas, tepat/tidak tepat, patut/tidak patut, dsb. Bukan sekadar persoalan apa yang kita katakan/lakukan, namun juga soal bagaimana kita mengatakan/melakukannya. Bukan semata-mata soal mengklaim apa yang menjadi hak kita, namun juga mempertimbangkan implikasi lebih luas dari hal yang akan kita katakan/lakukan itu.
Lebih sulit, memang, namun inilah paradoks kemerdekaan Kristiani. Bahwa kemerdekaan kita dari belenggu dosa bukan berarti lisensi untuk mengeksploitasi kebebasan tersebut, namun untuk mengabdikan diri kita bagi Kristus, bukan demi kepentingan diri kita sendiri, “tetapi untuk kepentingan orang banyak, supaya mereka beroleh selamat.” (1 Korintus 10:33) (SH)