Kemenangan Atas Kesuksesan
Kesibukan mengejar materi seringkali membuat manusia lupa apa yang penting dalam hidup ini. Itulah kehidupan saya sebelum peristiwa bom Marriott, Kuningan, Jakarta, Jumat, 17 Juli 2009. Ambisi dan kepuasan pribadi mengisi kehidupan saya sebelum peristiwa tersebut. Bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak mungkin supaya bisa hidup enak, memiliki harta kekayaan, mobil bagus, dan bisa berlibur ke berbagai tempat. Alasan yang sering dipakai dalam mengejar materi adalah untuk menghidupi keluarga. Padahal, ada ambisi pribadi, mengejar kepuasan diri, supaya orangtua dan teman-teman melihat suksesnya hidup saya; walaupun harus mengorbankan kehidupan keluarga.
Pekerjaan saya adalah di dunia Consulting. Saya harus bekerja dari satu project ke project berikutnya, dan dari satu client ke client berikutnya. Pada saat saya tinggal di Sydney, itu tidak masalah, karena hampir semua client saya berada di Sydney. Tetapi, setelah pindah ke Singapore, hampir semua client saya berada di luar Singapore. Saya menjadi ‘weekend father’: Minggu malam atau Senin pagi terbang ke luar, Jumat malam kembali ke Singapore. Itu saya lakukan selama sekitar 7 tahun. Saya tidak punya kesempatan untuk melihat dan menjadi bagian dari proses pertumbuhan kedua anak saya. Hanya berada di Singapore pada hari Sabtu dan Minggu tidaklah cukup. Saya cape dan hanya ingin beristirahat. Pelayanan di gereja praktis hanya pada hari Minggu. Ada dua peristiwa yang mengubah pandangan hidup saya:
- Bom Marriot, Kuningan, Jakarta.
Pada saat bom meledak di Marriott, Jakarta, saya menginap di hotel itu. Hari itu saya keluar kamar agak siangan, karena client saya menunda meeting pagi itu ke jam 9.30 pagi. Padahal biasanya saya harus sampai kantor jam 9 pagi, dan waktu bom meledak, itu adalah waktu saya biasanya berada di lobby untuk makan pagi atau check out. Saya baru sadar kalau ada ledakan bom pada saat saya turun ke lantai dasar. Staf di hotel tidak memberitahukan bahwa ada ledakan bom sehingga saya turun pakai lift dan baru sadar setelah pintu lift terbuka. Saya lihat kondisi lobby, reception dan tempat makan pagi sudah porak poranda. Kaca-kaca berserakan, air tergenang dimana-mana, dan bau aneh tercium. Saya dan beberapa tamu lain diarahkan oleh petugas keamanan untuk keluar lewat dapur dan jalan belakang hotel. Setelah sampai di belakang hotel, saya baru tahu apa terjadi. Saya langsung menelpon orangtua saya dan istri saya, memberitahukan bahwa saya tidak apa-apa. Kemudian saya mencari taxi untuk pergi ke kantor.
Di kantor saya tidak bisa konsentrasi bekerja. Saya terus berpikir, karena meeting ditunda maka saya keluar dari kamar setengah jam lebih lambat dari biasanya dan tidak berada di lobby pada waktu bom meledak. Bisa saja saya jadi korban jika meeting tidak ditunda.
- Taxi yang Mogok.
Sore harinya, taxi yang saya tumpangi ke bandara untuk kembali ke Singapore mogok. Terpaksa saya harus mencari taxi lain. Supir taxi yang kedua senang bercerita. Dia bahagia sekali dan merasa beruntung tiap hari bisa pulang ke rumah, bertemu dengan keluarga tercinta. Setelah itu masih bisa melakukan yang dia sukai (karaoke) Saya termenung, sebuah pelajaran kehidupan dari seorang supir taxi. Hidupnya pas-pasan, tetapi bisa bersyukur. Sedangkan saya, seorang konsultan dengan bayaran yang jauh lebih tinggi, punya banyak materi; tetapi waktu dihabiskan bukan di keluarga tetapi di airport, pesawat, hotel, kantor dan hampir saja menjadi korban bom Marriott.
Saya berubah dan menyadari bahwa hidup ini singkat dan perlu diisi dengan hal-hal yang penting untuk saya: keluarga dan pelayanan. Saya memutuskan untuk mencari pekerjaan yang tidak menuntut untuk travelling terlalu banyak. Dampaknya jelas: penghasilan lebih kecil dan tidak menentu. Tetapi, saya mempunyai lebih banyak waktu di Singapore untuk keluarga dan pelayanan. Saya juga belajar mensyukuri apa yang saya punya. Saya merasa sudah cukup baik dalam materi dan kedudukan. Saya tidak perlu lagi mengejar penghasilan tinggi atau posisi tinggi di kantor. Prioritas saya sekarang adalah keluarga dan pelayanan.
Kedua peristiwa itu adalah hasil tangan Tuhan. Meeting yang ditunda, taxi yang mogok dan sopir taxi yang ‘mengajari’ saya untuk mensyukuri hidup, dan akhirnya mendapat pekerjaan yang tidak terlalu banyak travelling dan kesempatan pelayanan di GPBB. Keserakahan, sanjungan prestasi dan materialisme sering menggoda tetapi kedua peristiwa itu selalu saya ingat sehingga saya tetap tahu apa yang terpenting dalam kehidupan ini. (D. Hadinoto)