MAKNA LILIN DI MASA PRAPASKAH
by GPBB · Published · Updated
Dalam perjalanan sejarah gereja, penggunaan cahaya dalam ibadah bukanlah hal yang baru. Kehadiran cahaya tersebut bukan sekadar fungsinya sebagai alat penerang ruangan (Kis 20:8), melainkan juga dalam fungsi simbolisnya yang jauh lebih mendalam. Dalam Perjanjian Lama, Allah beberapa kali digambarkan muncul dalam wujud terang atau cahaya, misalnya dalam kisah Allah menampakkan diri kepada Musa melalui semak duri yang menyala (Kel 3:2) dan dalam tiang api ketika Israel keluar dari Mesir (Kel 13:21). Allah pun memerintahkan Musa untuk membuat kandil yang di atasnya harus dipasang 7 buah lampu sebagai penerang (Kel 25:37).
Pemakaian cahaya dalam peribadahan Kristen sejak akhir abad ke-3 dimaknai sebagai simbol Kristus, “Terang yang bercahaya dalam kegelapan” (Yoh 5:1). Pada abad ke-4, penyalaan cahaya di altar mulai diberlakukan dengan memakai pelita berbahan bakar minyak Zaitun. Dan sejak saat itu, tradisi menyalakan cahaya dalam ruang ibadah mulai berakar lebih kuat. Bahkan, ada gereja yang mengupayakan agar ada salah satu sumber cahaya yang harus tetap menyala sepanjang hari, sebagai simbol kehadiran Kristus.
Lilin sebagai salah satu simbol cahaya, awalnya, secara khusus dipergunakan pada saat pembacaan Injil dalam ibadah. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, lilin juga dinyalakan selama peribadahan berlangsung dan diletakkan di bagian depan ruang ibadah (di atas meja atau pun pada tiang khusus) menggantikan penggunaan pelita. Sampai saat ini, lilin masih terus dipergunakan gereja sebagai simbol Cahaya Ilahi, Terang Kehidupan, yaitu Kristus. Dalam minggu-minggu Adven, kita menyalakan lilin – satu per satu – sehingga terangnya menjadi semakin besar, sebagai wujud simbol pengharapan kita terhadap “Terang Allah” yang sedang datang ke dalam dunia (Yoh1:9). Akan tetapi, dunia tidak mengenal-Nya dan orang-orang kepunyaan-Nya justru tidak menerima Dia (Yoh 1:10-11). Kristus ditolak dan dianiaya oleh manusia. Terang itu justru dipadamkan oleh kebengisan dan keberdosaan manusia. Kristus menderita, bahkan mati oleh karena pemberontakan manusia. Dunia lebih mencintai kegelapan.
Minggu-minggu Prapaska merupakan masa bagi kita untuk kembali menghayati penderitaan Kristus. Kita diajak untuk berjalan bersama Kristus dan bersatu dalam penderitaan-Nya. Pada setiap minggu Prapaska, satu per satu lilin akan dipadamkan sebagai simbol penghayatan kita akan penderitaan Kristus itu sampai pada kematian- Nya di atas kayu salib akibat dosa-dosa kita. Setiap lilin yang dipadamkan juga menggambarkan kegagalan kita untuk mengenal dan menerima Kristus dalam kehidupan pribadi, keluarga, bergereja, dan bermasyarakat. Tanpa sadar, kitapun sering “memadamkan” terang Kristus dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan kita setiap hari.
Namun demikian, kasih Allah tak berkesudahan. Dosa ditebus-Nya. Akhirnya, Terang itu akan kembali bercahaya dalam peristiwa Paska, bangkitnya Kristus, Sang Surya Kehidupan yang sejati. (wbm) (https://www.gkikb.or.id/index.php/article/makna-lilin-di-masa-prapaskah.html)
Image courtesy by Foto oleh Matej Novosad