MEMBIASAKAN KEPEDULIAN
(image dari: myqueenstown.blogspot.com)
Dalam tiga dekade tinggal di Singapura, tiga kali kami merenovasi rumah. Renovasi yang ke tiga ini juga massive renovasi. Sehari sebelum renovasi di mulai, saya berdoa sendiri di kamar. Pokok doa saya: “Tuhan, jika Engkau ijinkan kami memperindah rumah kami, Engkau pula yang akan mengutus setiap individu yang akan bekerja di sini, siapapun juga mereka. Amin.”
Waktu major renovasi, tentunya kami tidak tinggal di rumah. Kami mulai tinggal di tempat baru ini setelah 80% renovasi selesai. Singkatnya ketika kami sudah tinggal di rumah yang baru, orang-orang yang bekerja merampungkan renovasi masih ada bekerja.
Kondisi seperti ini, saya pribadi merasakan sebagai anugerah Tuhan yang sangat besar, yaitu Tuhan ijinkan saya untuk berinteraksi dengan para workers yang bekerja untuk rumah kami. Para workers ini adalah orang-orang Bangladesh. Cara mereka bekerja sangat professional, tidak banyak bicara, sopan, santun dan penuh tanggung jawab. Jujur, saya terharu dan kagum dengan dedikasi mereka. Kebanyakan mereka sudah bekerja beberapa tahun di Singapore dan jarang pulang kampung (Mungkin sekali dalam 3 tahun)
Seorang workers, pemuda seusia seperti putera bungsu saya bercerita bahwa dia mempunyai tiga orang adik di Bangladesh dan dia “berkorban” tidak lanjut sekolah tetapi bekerja di Singapore, sudah 3 tahun demi kirim uang untuk adik-adiknya. Saya merasakan pemuda ini memiliki prinsip hidup yang baik, dia mau hidup benar dan peduli.
Kadang saya belikan aneka buah waktu mereka lunch break dan saya lihat mereka makan dengan sukacita di koridor.
Sekali waktu pada hari Jumat, seorang pekerja ketinggalan HP nya. Dia hanya bisa ambil Senin waktu balik bekerja. Selama dua hari saya lihat ada beberapa kali missed call dan FaceTime keluarganya dari Bangladesh, anaknya masih kecil.
Apakah saya peduli pada mereka? Mereka bukan keluarga saya, totally strangers. Setelah renovasi selesai saya juga tidak akan pernah ketemu lagi dengan mereka, jadi apa urusannya? Khan rumah sudah beres. Ternyata saya masih (dan semoga) tetap peduli pada mereka. Semua karena Tuhan anugerahkan saya kesempatan besar ini untuk mendoakan mereka. Saya doakan mereka yang terpisah dengan keluarga tercinta, mereka yang sering dianggap ‘invicible’, yang di ignore oleh sesama, padahal mereka juga punya ayah dan ibu. Mereka juga suami dari istri yang rindu saling bertemu, ayah dari anak-anak yang dirindukan.
Pada hari terakhir mereka bekerja, supervisor nya berkata pada saya, “Maam, Now your house is done, you can bring your father and mother to visit (karena dia pernah tanya kami berasal dari mana) Saya jawab: How I wish, karena orang tua kami sudah tidak ada. Sekali lagi dia bertanya, “Maam, are you a Christian? “Yes, I am”, itu jawab saya.
“When you know how much God is in love with you, then you can only live your life radiating that Love” (Mother Teresa) (InGS)