NILAI DAN PERILAKU
Seberapa dalam nilai sesuatu bagi kita menentukan bagaimana kita memperlakukan sesuatu tersebut. Misalnya, jika kita menilai bahwa pasangan sangat berharga, kita akan berhati-hati untuk tidak melukai perasaannya. Kita sebisa mungkin membuat ia bahagia dan mendorongnya bertumbuh setiap hari. Sebaliknya, jika nilai pasangan rendah, kita akan cenderung mengabaikannya dan memperlakukannya seperti biasa saja. Tindakan kita merefleksikan nilai-nilai yang kita pegang. Kebenaran ini juga tertuang dalam Lukas 7:36-50.
Di dalam perikop tersebut, Simon orang Farisi itu muncul mengawali narasi dengan manis seraya mengundang Yesus untuk makan di dalam rumahnya. Tetapi pembacaan teks yang lebih teliti akan langsung menunjukkan arogansi Simon. Ini didukung oleh tiga hal: pertama, perkataan yang digunakan dalam narasi (ay.36); kedua, status religiusnya (sebagai orang Farisi); dan ketiga, reaksi Simon (ay.39).
Terkait dengan perkataan, dalam bahasa Yunani, istilah “mengundang” dalam ayat 36 memiliki nuansa makna mengharapkan sebuah posisi atau relasi tertentu dari orang yang diundang. Sangat mungkin Yesus yang sudah begitu populer di dalam konteks perikop itu diundang oleh Simon dengan tujuan ‘mendongkrak’ popularitas atau prestise religius Simon di kalangan orang banyak. Ini juga terlihat dari tensa yang digunakan memiliki makna Aktif Indikatif untuk menunjukkan pengulangan. Sangat mungkin Yesus sudah menolak undangan itu, tetapi Simon berkali-kali mengulang undangan itu, meminta Yesus lagi dan lagi untuk datang makan di rumahnya. Ini tidak lain dan tidak bukan untuk kebanggaan sosial dan religius dirinya. Hal ini juga diperkuat oleh status religiusnya sebagai orang Farisi yang notabene terkenal dengan kemunafikan dan arogansi keagamaan (bdk. Mat.23; Luk.11 dan 20). Sangat mungkin Simon pada waktu itu merasa dirinya jauh lebih berpengalaman dan senior dibandingkan dengan Yesus (yang waktu itu kira-kira usianya 30 tahun lebih. Ini usia yang muda dalam pandangan orang Yahudi). Mungkin itu sebabnya, Simon tidak membasuh kaki Yesus, memberi ciuman kudus tanda salam, atau mengurapi kepala-Nya dengan minyak zaitun tanda penghormatan (lih. Ay.44-46). Akhirnya, yang paling jelas ialah reaksi Simon. Ayat 39 menunjukkan apa isi hatinya: ia kecewa dengan Yesus; dan merasa jijik dengan perempuan berdosa itu. Simon merasa diri amat suci dan benar. Yesus menegur dan mengajar Simon melalui kisah dua orang yang dibebaskan hutangnya. Inilah pengampunan yang besar yang dirasakan oleh perempuan berdosa itu.
Perempuan itu menunjukkan kasihnya kepada Yesus. Ini dapat dilihat dalam dua hal: pertama, bahasa tubuhnya: ia menyembah Tuhan (ay.38); dan kedua, pengorbanannya: ia melayani Tuhan (ay.37b). Perempuan itu menyembah Tuhan melalui ekspresi bahasa tubuhnya yang ia ungkapkan sambil menangis. Ia merendahkan dirinya di hadapan Yesus. Ia sungguh menyadari betapa dirinya tidak layak. Selain itu, ia melayani Yesus dengan cara mengorbankan apa yang paling berharga yang ia miliki yaitu minyak wangi dalam buli-buli pualam. Studi latarbelakang budaya menunjukkan bukan hanya nilai intrinsik yang tinggi, tetapi juga bahwa benda itu merupakan mas kawin atau warisan keluarga yang umum dipakai oleh orang Yahudi. Demikianlah perempuan itu menyatakan kasihnya kepada Yesus.
Bagi Simon, Yesus hanyalah alat untuk mendongkrak popularitas dan prestise religius, tetapi bagi perempuan itu, Yesus ialah segala-galanya, jauh lebih berharga bahkan daripada warisan keluarga yang ia miliki. Seberapa bernilaikah Yesus bagi Anda? Perilaku kita setiap hari akan menjawab hal ini (yj).