NOMOR SAYA 12F
(image dari: dailystar.co.uk)
Dengan mantap saya duduk di kursi 12F Lion Air 389 Pekanbaru-Jakarta. Saya memang suka duduk di dekat jendela. Tak lama kemudian datanglah seorang penumpang. “Maaf, pak, saya duduk di dekat jendela,” begitu katanya sambil tangannya menunjuk ke tempat duduk saya. “O, tidak, ini nomor tempat duduk saya, F kok,” begitu saya membela hak saya. “Saya juga F”, sergah orang itu. “Lho, kok bisa ada dua nomor yang sama yah? Tetapi ngak apa-apalah, saya duduk di tengah saja.” lanjut orang itu mengalah sambil duduk di tengah di sebelah saya. Ketika ia duduk, saya lihat boarding pass dia. “Lho, bapak nomor seat-nya 15F, bapak salah, di sini 12F bukan 15F,” seraya telunjuk saya menunjuk 12F di boarding pass saya. Lagi-lagi dengan gaya sok, saya berusaha memberitahu dia. Orang itupun berkata, “Bapak yang salah, ini kursi nomor 15F bukan 12F. Nomor 12F di depan itu,” sambil telunjuknya menunjuk ke depan. Saya penasaran, saya permisi lalu berdiri dan melihat tanda nomor di dekat bagasi kabin. “Ya, ampun, mati gua!” ternyata benar, saya yang salah duduk. Saya duduk di 15F, yang saya kira 12F. Mendadak sontak, saya langsung minta maaf kepada orang itu. “Maaf pak, sorry, sorry banget pak. Saya salah lihat nomor. Sekali lagi sorry ya pak.” Rasanya muka ini mau taroh dimana! Sudah salah merasa yakin benar dan malahan nyalahin orang lain yang benar.
Ada pelajaran yang bisa saya ambil: Lain kali periksa, periksa dan periksa terlebih dahulu sebelum duduk. Memang ini nampaknya perkara sepele, tetapi bukankah dalam hidup kita seringkali kita dipermalukan bukan dengan perkara-perkara besar tetapi justru dalam perkara-perkara sepele.
Dalam kehidupan ini, ada baiknya sebelum bertindak atau berbicara, kita periksa sekali lagi terlebih dahulu sebelum tindakan itu kita jalankan atau sebelum perkataan itu kita lepaskan dari mulut kita. Ada contoh yang bagus, yaitu, jika kita bicara bahasa asing, kita pasti mikir dulu baru ngomong. Iya khan! Kenapa? Karena takut salah. Tetapi jika kita ngomong bahasa Indonesia, selalu atau lebih sering kita ngomong dulu baru mikir. Kita tidak takut salah, begitu salah dan menyakiti orang lain, baru kita sadar dan minta maaf (masih bagus minta maaf, lebih sering lagi kita ngak mau minta maaf, gengsi!)
Dengan yakinnya saya merasa benar duduk di kursi 12F, tanpa pernah mau periksa dan periksa sekali lagi. Seandainya saya mau periksa sekali lagi, maka saya yakin saya tidak akan mengambil tempat duduk orang lain. Saya merenung, alangkah bijaknya jika setiap kali sebelum bertindak atau berbicara, saya periksa sekali lagi apakah perbuatan atau perkataan yang akan saya lakukan ini sudah pas dan benar.
Saya teringat Yakobus 3:2: “Kita semua bersalah dalam banyak hal. Barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat mengendalikan seluruh tubuhnya.” Artinya, kita seringkali banyak berbuat salah melalui lidah. Dengan entengnya saya berkata, “Bapak salah, saya benar.” Ayat 6 mengungkapkan sesuatu yang mengerikan bahwa lidahlah yang seringkali menodai seluruh hidup kita. Itu sebabnya Yakobus 3 mengajar kita supaya berhati-hati, waspada, kendalikan, kuasai dan jinakkan kata dan perbuatan kita. Dengan demikian kita akan terhindar dari noda malu. Ingat: mikir dulu baru ngomong, jangan ngomong dulu baru mikir. (J.Th)