PATUNG ANAK LEMBU EMAS
“Jangan ada allah lain dihadapanKU..” (Keluaran 20:3)
Dalam perjalanan bangsa Israel di padang gurun, peristiwa membuat patung anak lembu emas adalah cerminan dari belum berubahnya identitas Mesir dalam diri umat Israel.
Identitas menurut Stella Ting Toomeymerupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Sementara itu, Gardiner W. Harrydan Kosmitzki Corinnemelihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap[1] Dalam konsep Tuhan Yesus, identitas adalah proses pendefinisian ulang jati diri atau cerminan diri hasil dari pertobatan dan kelahiran baru dalam Kristus. (Yohanes 3:5-7) Melalui pertobatan dan kelahiran baru maka seseorang memiliki identitas baru dengan prilaku baru, keyakinan baru dan sikap baru (bnd: 2 Korintus 5:17)
Dalam kasus patung anak lembu emas di Keluaran 20 kita mendapatkan bahwa bangsa Israel belum memiliki identitas baru, belum memiliki pola pikir baru, keyakinan baru, konsep baru dan sikap baru sebagai umat pilihan TUHAN. Statusnya umat pilihan Tuhan, tetapi, dalam konsep dan pola pikirnya masih Mesir. Mereka sesungguhnya tidak mengikut TUHAN tetapi mengikut Musa. Terbukti ketika Musa tidak ada kabar berita, maka mereka kehilangan pegangan dan arah. Mereka lupa, TUHAN tetap ada. Bukankah perjanjian dengan TUHAN (Keluaran 20) sudah `ditandatangani`. Perjanjian itulah yang harusnya menjadi pegangan.
Perenungan kita adalah bahwa dalam kehidupan umat TUHAN sekarang ini, pemimpin umat (baca: pendeta) sering lebih dituhankan ketimbang Pencipta (baca: TUHAN)
Pendeta lebih menjadi sandaran daripada TUHAN. Tidak heran jika banyak umat memuja para hamba Tuhan daripada TUHAN yang adalah Tuan dari para hamba tersebut. Kita memang bisa percaya TUHAN karena seorang pendeta atau kita dikuatkan dan diberkati melalui kotbah atau doa Pendeta. Namun, dalam perjalanan iman selanjutnya, kita tidak lagi memandang si pendeta sebagai `dewa`, yang berjasa dan kita `berhutang rohani` kepadanya. TUHANlah yang menyelamatkan kita melalui si pendeta itu. `Hutang rohani` kita kepada TUHAN bukan kepada manusia.
Dalam kehidupan kita tidak boleh kita menciptakan `patung anak lembu emas` atau `patung pendeta emas`. Totalitas hidup kita hanya untuk TUHAN. Kepada Dia sajalah kita harus menyembah dan mengabdi.
(J.Th)