REKONSILIASI
Afrika Selatan memiliki periode yang kelam dalam sejarah mereka, yaitu era apartheid (aparthood, keterpisahan). Prinsip dasar dari politik apartheid adalah segregasi dan diskrimasi berbasis ras yang diformalkan dalam kebijakan pemerintah dan undang-undang. Dalam sistem ini, penduduk Afrika Selatan dibagi menjadi empat golongan: kulit putih, kulit hitam, orang Asia Selatan (India, Pakistan), dan kulit berwarna/darah campuran, dimana kebijakan-kebijakan pemerintah mengatur, misalnya, di mana setiap golongan ini dapat tinggal, dengan siapa mereka boleh menikah, pekerjaan apa yang mereka bisa dapatkan, siapa yang memiliki hak politik untuk memilih dan dipilih, dan sebagainya. Dan dalam sistem ini golongan kulit putih dianggap memiliki tempat yang teratas dan terutama di antara golongan-golongan lain.
Politik apartheid ini bahkan dibela secara teologis oleh kebanyakan pendeta-pendeta kulit putih Afrika Selatan di abad ke-20. Ajaran ini mengajarkan bahwa segregasi berbasis ras adalah hal yang memang didesain oleh Allah sendiri. Ayat yang digunakan, misalnya, Ulangan 32:8, “Ketika Sang Mahatinggi membagi-bagikan milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia memisah-misahkan anak-anak manusia, maka Ia menetapkan wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel.” Poin ajaran ini adalah keterpisahan dan diskriminasi berbasis ras itu bukanlah hal yang aneh namun memang hal yang wajar dan semestinya.
Era apartheid berakhir secara resmi pada awal dekade 1990an, yang secara simbolik dinyatakan lewat terpilihnya Nelson Mandela sebagai presiden Afrika Selatan pada tahun 1994. Walau secara resmi era apartheid sudah berakhir, setelah itu perlu ada proses nasional yang panjang untuk memulihkan luka bangsa yang begitu dalam akibat politik apartheid ini. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk pada tahun 1994 dan berfungsi sebagai sebuah badan yang serupa dengan pengadilan, dimana setiap orang yang merasa bahwa mereka telah menjadi korban dalam era apartheid dapat mengadu dan didengar oleh komisi ini. Di sisi lain, para pelaku diskriminasi dan pelanggar HAM tersebut dapat memberikan kesaksian dan memohon pengampunan atas perbuatan-perbuatan mereka. Komisi ini dianggap berhasil di dalam memberikan ruang bagi korban maupun pelaku, dan berperan besar dalam memulihkan relasi yang rusak antar golongan di Afrika Selatan akibat politik apartheid.
Rekonsiliasi bukan berarti tidak menghiraukan pelanggaran yang ada, berpura-pura bahwa segala sesuatu baik-baik saja, dan move on begitu saja. Justru sebaliknya, rekonsiliasi mengisyaratkan pengakuan bahwa ada pelanggaran yang telah dilakukan dan karena itu perlu ada permohonan maaf. “Ampuni kami, seperti kami pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami…” (SH)