FIRAUN DAN KEDEGILAN HATINYA
(image dari http://tatcogschool.blogspot.com)
Membaca narasi bangsa Israel yang hendak Tuhan keluarkan dari Mesir membuat bulu kuduk merinding. Bagaimana tidak? Bayangkan tulah yang sudah Tuhan siapkan untuk menghancurleburkan Mesir. Tidak tanggung-tanggung, sepuluh tulah sudah Tuhan siapkan untuk menekan dan menghukum Mesir agar melepaskan Israel dari perbudakan. Pembacaan sekilas seolah tulah-tulah ini hanyalah bencana alam biasa. Tetapi penelitian mendalam menunjukkan bahwa ini bukan sekedar peristiwa alam. Bahkan, para ahli nujum Firaun pun mengakui bahwa “this is the finger of God!” (Kel. 8:19). Misalnya saja tanda yang Allah berikan yaitu tongkat Musa berubah menjadi ular. Mengapa tidak menjadi kelinci atau gajah yang besar? Mengapa ular?
Ular dalam konteks Mesir, khususnya kobra, ialah lambang kekuasaan. Misalnya, tutup kepala Firaun selalu digambarkan dengan kepala ular kobra. Ini menunjukkan siapa yang memegang kekuasaan. Ketika tongkat Musa, yang berubah menjadi ular itu, menelan ular-ular buatan ahli nujum Mesir, Allah ingin memberi pesan yang jelas siapa yang paling memegang kekuasaan di sini! Jelas bukan Firaun. Selain itu, dalam perspektif narasi Pentateukh dan juga kebudayaan Timur Dekat Kuno, ular (hebrew: tannin) ialah lambang chaos atau kehancuran. Menelan ular berarti Allah memerintahkan chaos untuk berhenti dan memulai creation yang baru dengan kekuasaan Allah. Maka jelas sekali, ini bukan sekedar peristiwa alam. Narasi tulah menunjukkan bahwa Allah mendemonstrasikan kekuasaan-Nya di hadapan dewa-dewa Firaun yang tidak berkutik. Firaun layak untuk tunduk di hadapan Allah. Tetapi anehnya, Firaun tidak bergeming sedetikpun, tepat seperti yang sudah Tuhan katakan: “Tetapi Aku tahu, bahwa raja Mesir tidak akan membiarkan kamu pergi, kecuali dipaksa oleh tangan yang kuat” (Kel. 3:19).
Tetapi walau Firaun sudah menyaksikan beberapa tulah itu sendiri, ia tetap tidak membiarkan bangsa Israel pergi sampai tulah terakhir. Terkadang memang ada kesan Firaun bertobat. Tetapi setelah tulah berhenti, Firaun kembali mengeraskan hatinya. Mengapa Firaun tidak tunduk saja kepada Allah bahkan setelah ia menyaksikan kehancuran bangsanya? Kemegahan dan kemuliaan Mesir yang pada waktu itu menjadi pusat peradaban dapat menjadi alasan yang kuat mengapa Firaun tidak begitu saja tunduk pada Allah. Ia kaya, terhormat, berkuasa, memiliki kedudukan puncak, bahkan dalam konteks Mesir, Firaun dapat dikategorikan sebagai dewa dan disembah. Ia merasa diri cukup, bahkan ia adalah segala-galanya. Padahal, di mata Tuhan, ia nothing!
Kekayaan dan kemuliaan adalah anugerah Allah. Kita perlu mawas diri jangan sampai hal-hal tersebut membuat kita sulit mendengarkan dan taat kepada suara Allah, seperti Firaun. Seiring dengan Tuhan menambahkan berkat materi dalam hidup kita, kiranya kita juga bertumbuh dalam kerendahan hati, ketaatan dan penyembahan kepada Allah. Tuhan memberkati (YJ).