Status Quo
by GPBB ·
Status Quo
Ketika Yesus ditangkap, Ia dibawa kepada Hanas, mertua dari Kayafas, yang pada tahun itu menjadi Imam Besar. Hanas sendiri menjadi Imam Besar pada tahun 6-15 Masehi, sementara Kayafas menjabat sebagai Imam Besar pada tahun 18-36 Masehi. Kemungkinan alasan mengapa Yesus dibawa kepada Hanas terlebih dahulu dan bukan langsung kepada Kayafas adalah walau Hanas sudah lama tidak menjabat sebagai Imam Besar, secara de facto ia masih memiliki pengaruh sosial politik yang besar di kalangan orang Yahudi saat itu. Setelah Hanas turun, tercatat ada 5 anaknya yang sempat menjabat sebagai Imam Besar (Eleazar, Yonatan, Teofilus, Matias dan seorang lagi yang bernama Hanas juga), belum termasuk Kayafas menantunya.
Hanas dan Kayafas sendiri adalah bagian dari Sanhedrin, yaitu Mahkamah Agama orang Yahudi. Dan, berhubung hukum agama orang Yahudi mencakup banyak aspek kehidupan ekonomi/sosial/politik, sebenarnya cakupan pengadilan ‘agama’ di sini lebih luas dari ketimbang masalah keagamaan saja. Karena itu anggota Sanhedrin, apalagi Imam Besar, memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat Yahudi saat itu. Sanhedrin boleh dibilang juga menjadi perpanjangan tangan kerajaan Romawi dalam mengurusi isu internal bangsa Yahudi. Tentunya, dengan kuasa yang besar seperti ini, sulit membayangkan Hanas akan menerima adanya seseorang yang mengklaim bahwa dirinya seorang Mesias yang akan menjadikan segala sesuatu baru. Lebih baik untuk tetap tinggal dalam zona nyaman dan status quo seperti saat ini daripada harus mengambil risiko yang tidak perlu, apalagi sekarang Hanas memiliki kekuasaan yang besar di antara orang Yahudi. Belum lagi kemungkinan orang tersebut dapat mendatangkan amarah kerajaan Romawi. Karena itu, “lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa.” (Yoh 18:14) Pernyataan ini sangat ironis, karena awalnya dimaksudkan bahwa Yesus akan menjadi tumbalnya daripada seluruh orang Yahudi yang dihukum oleh Romawi, namun pada akhirnya memang itulah makna kematian Yesus, mati demi menebus dosa seluruh bangsa.
Insiden ini juga menjadi refleksi bagi kita semua, apakah kita sudah menjadi terlalu kaku dalam beberapa aspek tradisi keagamaan kita sampai-sampai kita tidak bisa melihat bahwa Tuhan dapat, sudah dan akan terus bekerja dengan cara-cara yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Semoga tidak demikian, apalagi sampai harus mengorbankan sebagian orang hanya demi mempertahankan status quo. (SH)