TAURAT
(image dari https://thehimalayantimes.com)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini menangkap ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy, dalam sebuah operasi tangkap tangan dengan dugaan suap jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag). Kasus ini menambah daftar panjang kasus korupsi di Kemenag, misalnya kasus korupsi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dana abadi umat pada tahun 2006 oleh mantan Menteri Agama Said Agil Husin al Munawar, kasus korupsi dana haji pada tahun 2014 oleh Menteri Agama saat itu Suryadharma Ali, ataupun kasus korupsi terkait pengadaaan kitab suci pada tahun 2011. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah merilis data kementerian yang paling banyak memiliki pejabat yang diduga terlibat korupsi. Hasilnya, Kemenag menduduki posisi nomor 2! Hal ini menjadi sangat ironis, dimana kementerian yang membawahi urusan keagamaan justru menjadi salah satu lembaga yang paling korup di Indonesia. Karena itu, tidak heran jika wakil ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, berkomentar bahwa ia sangat miris dan menyesalkan bahwa kementerian yang seharusnya menjadi contoh yang baik bagi instansi lain justru lagi-lagi terjerat kasus korupsi.
Relijiusitas memang tidak melulu sebanding dengan moralitas. Paulus juga sepenuhnya menyadari paradoks ini, dimana mungkin saja orang yang sangat relijius dalam kesehariannya juga adalah orang yang terus berkanjang dalam dosa. Dalam pengalamannya sendiri, ia bergumul mengapakah seseorang yang sangat paham dengan hukum Taurat dan tahu isinya luar dalam terus melakukan dosa. Apakah itu berarti bahwa hukum Taurat adalah dosa itu sendiri? “Sekali-kali tidak!”, kata Paulus. Hukum Taurat itu sendiri adalah kudus, benar dan baik, namun hukum Taurat tidaklah cukup untuk membebaskan kita dari kuasa dosa (Rm 7:1-12). Fungsi dari hukum Taurat adalah untuk menyatakan dengan jelas kepada kita apa dosa itu, namun ia tidak memiliki kuasa untuk melepaskan kita dari jerat dosa. Karena itu, kita tidak perlu terkejut ketika kita membaca berita di surat kabar mengenai kardinal yang didakwa telah melakukan kejahatan seksual terhadap anggota paduan suara, pemuka agama yang terjerat kasus korupsi, ustad yang melakukan penganiayaan terhadap anak-anak, dsb – atau, bahkan, kehidupan kita sendiri yang mungkin tidak terekspos ke publik namun tentunya kita sangat tahu segala keborokannya.
Karena itu, bagaimana, apakah dengan demikian tidak ada harapan lagi bagi kita? Apakah kita semua adalah manusia celaka (Rm 7:24)? Adakah yang dapat melepaskan kita dari paradoks ini? Tahukah dan kenalkah Anda siapa yang dapat melepaskan kita dari tubuh maut ini? (SH)