Transcendence
Baru-baru ini di bioskop-bioskop di Singapura diputar film berjudul ‘Transcendence’. Film ini bercerita tentang ‘kesadaran’ (consciousness) dari seorang manusia yang ditransfer ke dalam jaringan komputer. Will Caster, seorang peneliti di bidang Artificial Intelligence (AI) terkena peluru radioaktif yang nyasar. Menghadapi kematian suaminya, sang istri memutuskan untuk memindahkan kesadaran suaminya ke dalam sistem komputer yang dirancang oleh mereka berdua. Begitu kesadaran sudah muncul di komputer, tubuh fisik sudah tidak diperlukan lagi. Eksistensi di dalam sistem komputer menyebabkan Will mampu mengakses (hampir) semua informasi di internet, yang bisa mempercepat risetnya di bidang rekonstruksi jaringan tubuh manusia. Hasilnya adalah suatu produk yang bisa mempercepat regenerasi dari jaringan-jaringan tubuh yang rusak. Efek sampingnya, tubuh yang sudah dimasuki oleh produk tersebut akan terhubung dengan tubuh-tubuh lainnya, dan dengan ‘kesadaran’ Will di komputer. Kemampuan interkoneksi ini dimanfaatkan oleh Will untuk makin meluaskan jaringan fisiknya. Karena makin sulit dikontrol, akhirnya pihak otoritas memutuskan untuk melenyapkan Will dengan memasukkan virus komputer yang dirancang khusus ke dalam jaringan.
Hal yang menggelitik disini adalah eksistensi manusia. Apakah manusia eksis hanya karena bisa ‘berpikir’, seperti yang ditengarai oleh René Descartes dengan filosofi cogito ergo sum yang terkenal itu? Dengan makin berkembangnya teknologi AI, akankah eksistensi manusia terancam oleh komputer? Makin meluasnya cakupan internet sekarang ini sudah mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan. Mungkinkah di masa mendatang eksistensi manusia dipindahkan ke dalam jaringan?
‘Transcendence’ mengangkat imajinasi akan kapasitas manusia yang tak terbatas. Kapasitas intelek, kemampuan mencipta, unsur emosi dan kesadaran moral yang Tuhan install sejak awal penciptaan merupakan aspek yang akan terus dieksplorasi oleh manusia. Ke-jenius-an Tuhan diperlihatkan dalam diri manusia sebagai puncak ciptaan. Keberhasilan Will merekonstruksi fisiknya di penghujung film, yang mungkin tampak berlebihan, merupakan klimaks dari film ini. Namun unsur emosi, yaitu kasih dan kapasitas moral tidak begitu saja dihapus oleh sutradara. Pada akhirnya, Will yang bangkit harus mati karena virus yang sudah di-install dalam diri istrinya.
Ketergantungan pada teknologi akan makin meningkatkan tension dalam kehidupan. Akan tiba saatnya ketika kita harus memilih Tuhan atau teknologi sebagai TUHAN yang benar. Apa pilihan kita? (Jonathan Adipranoto)