YESUS MENYUCIKAN BAIT ALLAH (1) (Yohanes 2:13-25)
Perikop ini memiliki kisah pararel dalam ketiga Injil Sinoptik lainnya (Mat. 21:12-17; Mrk. 11:15-19; dan Luk. 19:45-46). Namun banyak penafsir Alkitab (misalnya, Simon J. Kistemaker dan Leon Morris) melihat bahwa kedua kisah ini terjadi dalam dua waktu yang berbeda. Perikop ini menceritakan bahwa ketika hari raya Paskah orang Yahudi sudah dekat, Yesus berangkat ke Yerusalem dan Ia mendapati banyak pedagang hewan kurban dan penukar-penukar uang duduk di Bait Suci (ay. 13-14). Umumnya, praktik perdagangan ini dilakukan di pelataran untuk kaum proselit atau yang disebut juga the Court of Gentiles. Ini merupakan area paling luar dari Bait Allah.
Alfred Edersheim, seorang peneliti perilaku budaya dalam Bait Allah Yahudi, menunjukkan bahwa praktik jual beli binatang di pelataran Bait Allah adalah hal yang umum dan diperlukan pada waktu itu. Ini disebabkan karena pada hari-hari raya Yahudi, seperti Paskah, orang-orang Yahudi yang tersebar di berbagai tempat (diaspora) akan datang ke Yerusalem untuk beribadah dan mempersembahkan hewan atau pun hasil bumi di Bait Allah. Tetapi, umumnya orang tidak membawa berbagai jenis hewan dan hasil bumi dari tempat asal mereka. Ini dikarenakan jarak tempuh yang jauh dapat mengurangi kualitas hewan yang akan dipersembahkan. Karena itu, mereka lebih memilih membeli dari para pedagang di Bait Allah tersebut. Money Changer pun dibutuhkan mengingat mata uang yang mereka bawa tentunya berbeda. Akibatnya, roda perputaran ekonomi bergerak di pelataran Bait Allah itu dan para pedagang ini sepertinya membantu oarng-orang yang hendak beribadah dengan menyediakan kebutuhan mereka. Lantas, mengapa Yesus sangat marah (ay. 15)?
Yesus marah karena dua alasan: pertama, lokasi yang tidak tepat (ay. 16). Bait Allah tidak sepantasnya dijadikan tempat berjualan (atau pasar [emporion bhs. Yun]). Istilah genitif yang Yesus pakai (rumah Bapa-Ku) tidak hanya menunjukkan aspek kepemilikkan-Nya terhadap Bait Allah, tapi juga aspek kekudusan dan kekhususan tempat itu. Bait Allah adalah tempat untuk menyembah Tuhan atau the House of Prayer. Alasan kedua, motivasi yang tidak tepat (ay. 17). Ayat 17 bermakna: “Cinta untuk rumah-Mu begitu menguasai hati-Ku.” Ini berarti ketika kita datang ke Bait Allah, kita harus datang dengan hati yang dikuasai atau yang dipenuhi oleh kasih kepada Allah. Yang terjadi dalam perikop itu tidak demikian. Edersheim menunjukkan betapa harga hewan persembahan dapat melambung begitu tinggi karena demand yang tinggi dan nilai tukar uang begitu lemah. Analisis ini agaknya masuk akal mengingat Hanas dan Kayafas (Luk. 3:2; Yoh. 18:13) menguasai lisensi jalur perdagangan di Bait Allah. Bisnis yang demikian amat menjerat dan mencekik diaspora Yahudi yang datang beribadah kepada Tuhan. Namun itulah praktik yang umum terjadi di Bait Allah pada waktu itu. Pelataran Bait Allah penuh sesak bukan karena orang-orang yang motivasinya dipenuhi oleh cinta kepada rumah Tuhan, tetapi cinta akan uang. Tidak heran Tuhan Yesus murka! (yj)