MINGGU BIASA
“Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu… terimalah Roh Kudus.” (Yoh 20:21-22)
Hari Pentakosta adalah ‘puncak’ rangkaian perayaan Prapaskah dan Paskah. Pada hari Pentakosta, kita merayakan turunnya Roh Kudus atas para murid, menggenapi perkataan Tuhan Yesus kepada para murid sebelum Ia naik ke surga bahwa Roh Kudus akan turun atas mereka, dimana turunnya Roh Kudus akan menjadi meterai bagi murid-murid, bahwa mereka diutus menjadi saksi Kristus di Yerusalem, Yudea, Samaria sampai ke ujung bumi. (Kis 1:8)
Setelah hari Pentakosta, kita memasuki apa yang disebut dalam tahun liturgi/kalendar gerejawi sebagai masa biasa atau minggu-minggu biasa (Ordinary Time), yaitu yang dimulai dari setelah hari Pentakosta sampai Minggu sebelum masa Adven (yang akan menandai awal tahun liturgi yang baru). Secara visual, hal ini dapat kita lihat dari warna stola dan taplak mimbar. Selama masa Prapaskah, warna stola dan taplak mimbar adalah warna ungu, sementara selama minggu-minggu biasa warna yang digunakan adalah warna hijau.
Arti kata ‘biasa’ dalam masa biasa/minggu-minggu biasa di sini bukan berarti hambar, tidak menarik, membosankan, dimana kegiatan gerejawi dilihat sebagai rutinitas semata. Arti ‘biasa’ di sini lebih dalam arti tidak ada perayaan hari-hari khusus dalam kalendar gerejawi (Adven/Natal atau Prapaskah/Paskah). Dan, lebih dari itu, kita perlu mengingat bahwa posisi masa biasa ini terletak setelah hari Pentakosta. Jika di hari Pentakosta kita merayakan turunnya Roh Kudus untuk memperlengkapi murid-murid untuk menjadi saksi Kristus, maka masa biasa adalah masa-masa kita mewujudnyatakan panggilan kita sebagai saksi Kristus dimanapun kita diutus. Menjadi saksi Kristus bukanlah panggilan bagi segelintir orang yang tinggal di tempat dan waktu tertentu saja, namun bagi seluruh gereja di segala abad dan tempat. Menjadi saksi Kristus bukanlah panggilan yang ‘luar biasa’, namun panggilan yang ‘biasa’ bagi setiap orang yang mengaku murid Kristus dan yang perlu kita jalani setiap saat, di minggu-minggu ‘biasa’ ini. Menjadi murid Kristus yang ‘biasa’ adalah untuk menjadi saksiNya, seperti perkataan Paus Fransiskus: “The Church needs everyday saints, those of ordinary life carried out with coherence.” (SH)