BUNUH DIRI
Kasus bunuh diri kalangan lanjut usia di Singapura mencapai rekor tertinggi pada 2017. Organisasi yang fokus dalam penanggulangan bunuh diri, Samaritans of Singapore (SOS), menyebut, sebanyak 129 orang lanjut usia bunuh diri di 2017. Jumlah itu menyumbang hampir 36 persen dari total kasus bunuh diri tahun lalu.
SOS menyebut beberapa pemicu masalah yang dihadapi kalangan lanjut usia, seperti takut menjadi beban keluarga, putusnya hubungan sosial, serta kesehatan fisik dan kondisi mental yang memburuk.
Tertekan di Sekolah, Banyak Anak Singapura Bunuh Diri (https://akurat.co/id-70407-read-tertekan-di-sekolah-banyak-anak-singapura-bunuh-diri)
Saya mengajak kita semua hening diri dan masuk ke dalam perenungan batin, mengapa bunuh diri meningkat dan kian sering terjadi? Ada orang bunuh diri karena sakit penyakit yang tidak kunjung sembuh; kesepian; penyakit jiwa; cacat tubuh; penyalahgunaan narkoba; perasaan aib (pelecehan seksual; penghinaan dll); perasaan malu, karena miskin atau gagal melakukan sesuatu; persoalan harga diri sampai alasan-alasan agama (terorisme). Semua factor itu hanya pemicu, penyebabnya adalah perasaan tidak mampu, tidak kuat atau tidak tahan menanggung beban masalah yang dirasakan terlalu besar dan berat dan tidak mungkin selesai. Pribadi yang bunuh diri kebanyakan pribadi yang labil, tidak mampu menata emosi, tidak mampu mengelola masalah atau tidak mampu membangun kesehatan jiwa. Akibatnya si pelaku merasa hidup ini kejam, beban berat karena tidak ada seorangpun yang mengerti, apalagi kalau orang-orang di sekitarnya hanya menasehati melulu ketimbang menolong; menggurui terus ketimbang menemani atau menghakimi terus ketimbang memberi solusi.
Di Alkitab ada contoh bunuh diri, misalnya, Ahitofel (2 Samuel 17:23), Abimelekh (Hakim-Hakim 9:54), raja Saul (I Samuel 31:4-5), Yudas (Matius 27:5). Tetapi ada juga yang tidak bunuh diri walau kehidupan hancur total. Ayub, disuruh bunuh diri oleh istrinya, tetapi ia tidak mau. “Apa kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” begitu kata Ayub. Filosofi Ayub ini harusnya kita ingat. Jangan hanya mau nikmatnya saja dari kehidupan ini, tetapi tidak mau menerima yang buruk. Baik-buruk, lancar-macet, suka-duka, semua adalah warna kehidupan. Tidak mungkin hidup ini selalu baik dan baik, atau selalu buruk dan buruk. Disinilah dituntut kemampuan kita untuk selalu sadar bahwa hidup ini adakalanya buruk dan tidak sesuai dengan harapan. Kita dituntut untuk mampu mengembangkan kemampuan kita dalam manajemen masalah. Ketika kita dihadang masalah, masuklah kehadirat Tuhan, berdoalah, bernyanyilah, menyembah Tuhan, curahkan seluruh isi hati kita, seperti Hana dalam I Samuel 1:4-13. Kemudian, carilah teman atau sahabat atau orang yang kepadanya kita bisa curahkan semua masalah kita. Jangan pendam masalah, salurkanlah walaupun belum tentu kita mendapat solusi. Beban akan lebih ringan ketika kita sudah ceritakan kepada orang lain. Jangan pernah merasa masalah tidak ada jalan keluar. Pasti ada jalan keluarnya. Ingatlah dan pakailah filosofi Ayub.
Kita semua juga diharapkan lebih peduli kepada mereka yang sedang dalam penderitaan dan pergumulan. Jadilah teman atau sahabat atau sekedar menjadi teman bicara. Jangan melulu menasehati apalagi menghakimi. Asahlah kepekaan kita dan tunjukkan kepeduliaan sosial kita. Jadilah pendengar yang baik dan pendoa yang giat. (J.Th)