Apakah Kisah Hidupmu Otentik?
Dalam beberapa bulan terakhir ini, saya mengamati banyaknya film-film yang dibuat berdasarkan kisah nyata. Tentu detil-detil yang ada dalam tiap dialog dan plot film belum tentu tetap cocok dengan sejarah peristiwa atau sejarah hidup seseorang yang diceritakan. Sebab tiap penulis naskah dan sutradara harus peka terhadap kisah dan plot cerita yang cocok dengan pemirsa di jaman sekarang. Beberapa film yang sangat layak ditonton antara lain: Spotlight (beredar mulai 21 Januari 2016), Concussion (masih di bioskop sampai sekarang, film mengenai kegigihan), Bridges of Spies (film mengenai seorang agen asuransi yang tidak menyerah dalam bernegosiasi untuk urusan negara, 2015), Everest dan the Finest Hour (keduanya berhubungan dengan kedahsyatan alam, 2015), In the Heart of the Sea (film mengenai pemburuan ikan Paus yang menginspirasi novel “Moby Dick”, 2015), McFarland USA (film inspirasional mengisahkan tim lari cross country yang dilecehkan, namun menang seperti kisah Daud & Goliath tapi dalam konteks modern, 2015), Spare Parts (juga film bertemakan seperti Daud & Goliath, namun mengangkat kisah tim robotik dari sebuah SMA membuat alat eksplorasi bawah laut yang berhasil menang mengalahkan tim dari berbagai universitas, 2015), the Revenant (Leonardo diCaprio mendapat golden globe award memainkan Hugh Gloss, film seputar mempertahankan hidup melalui balas dendam), Joy (film biografi-komedi mengisahkan seorang ibu membesarkan 3 orang anak, artis pemerannya juga mendapatkan golden globe award, 2015), Steve Jobs (film biografi berdasarkan tulisan Walter Isaacson “Steve Jobs”).
Film-film bersumber kisah nyata realita kehidupan dari sebuah peristiwa atau dari seorang figur memiliki dampak luar biasa hebat. Sebab alur/plot cerita yang disajikan secara visual “menyedot” pemirsa untuk partisipasi ke dalamnya. Visualisasi melalui para aktor dan artis menampilkan otentisitas dari kisah nyata tsb.
Otentisitas itu yang menyentuh banyak pemirsa.
Aspek otentisitas ini yang dicari-cari oleh banyak orang di jaman sekarang. Ketika orang Kristen di lapangan pekerjaan, kampus, perumahan dan pergaulan sehari-hari tidak otentik, sulit buat kita untuk bersaksi. Sebab hidup yang kita tampilkan isinya adalah kepalsuan. Sepintar-pintarnya orang menutupi, lama kelamaan kepalsuan itu akan tersingkap. Umumnya orang-orang sebel bergaul sama seseorang yang penuh kepalsuan. Seorang Kristen yang otentik tidak takut menyatakan identitasnya sebagai manusia yang dipenuhi dengan banyak permasalahan hidup. Ia juga tidak menutupi pernah bahkan sering melakukan kesalahan. Namun Kristen yang otentik tidak berhenti pada pembenaran “saya juga manusia”. Ia harus ingat identitasnya di dalam kasih Kristus adalah lebih dari pemenang. Berarti seorang Kristen yang otentik tidak ragu menceritakan kisah hidupnya (secara verbal ataupun visual lewat teladan) yang banyak kelemahan namun tetap alami kemenangan di dalam Kristus. Apakah kisah hidupmu sebagai anak Tuhan itu otentik? (Pdt. Budianto Lim)