BERIMAN DI TENGAH JAMAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengalami perkembangan luar biasa. Kemajuan Ip-tek telah semakin menghantar manusia kepada kesejahteraan hidup yang amat baik. Tetapi, seiring dengan kemajuan pesat ip-tek, peradaban manusia juga berubah drastis. Nilai-nilai gotong royong dan tolong menolong berubah menjadi gaya hidup cuek. Sopan santun dan tata krama ditinggalkan. Gaya hidup kolektif berubah menjadi individualistis. Kebersamaan menjadi kesendirian. Sakralitas diganti dengan sekularitas. Nilai-nilai kemanusiaan diganti dengan nilai-nilai keuangan. Ukuran duniawi dipakai untuk mengukur perkara rohani. Lihat saja, betapa banyaknya ajaran Kristen yang mengatakan bahwa kesuksesan rohani dilihat dari kesuksesan duniawi; kaya, sembuh, makmur, besar, hebat, tinggi, super dll. Akibatnya, peradaban telah berubah menjadi kebiadaban karena orang menghalalkan segala cara untuk mencapai segala hal. Manusia semakin rentan terhadap berbagai penyakit kejiwaan. Hidupnya semakin labil dan kosong. Di tengah kemakmuran saja, manusia bisa begitu mudah bunuh diri, apalagi di tengah kemiskinan.
Keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, paling rentan terimbas efek negatif gelombang kemajuan jaman. Satu keluarga saling cuek habis, sesama saudara sekandung tidak ada gotong royong dan tata krama. Setiap anggota keluarga hidup dengan dunianya masing-masing. Tinggal satu atap tetapi bermusuhan. Suami-istri saling menganiaya bukan saling mengasihi. Pengkhianatan atas nilai-nilai perkawinan menjadi hal biasa dan lumrah. Bukankah ini parah! Pada kehidupan di kota-kota megapolitan seperti Singapore atau Jakarta, banyak ditemui manusia sukses di karier, pekerjaan, bisnis bahkan menjadi tokoh di masyarakat, namun, gagal didalam membina rumah tangga dan spitualitas pribadi. Istri atau suami selingkuh, anak-anak terlibat pergaulan bebas, narkoba, pornografi dlsb. Kesuksesan di luar rumah harus dibayar mahal dengan kehancuran di dalam rumah.
Lantas, bagaimana kita menyikapi hal ini? Martin Luther King Jr pernah berkata, “Ada begitu banyak keputus-asaan dalam dunia ini karena kita bersandar kepada ilah-ilah daripada kepada Allah. Kita berlutut kepada ilah ip-tek untuk kemudian mendapatkan bahwa itu hanya memberikan kepada kita bom atom serta menghasilkan ketakutan dan kekuatiran yang tak pernah ip-tek mampu atasi. Kita sudah menyembah ilah kenikmatan, hanya untuk kemudian mendapati bahwa getaran-getaran kenikmatan sangat pendek umurnya. Kita telah menyembah ilah uang, hanya untuk kemudian belajar bahwa hal-hal seperti cinta kasih, persahabatan tidak dapat dibeli dengan uang. Dan di dunia yang berubah-ubah dimana bisnis dan investasi bisa terpuruk, saham bisa anjlok, uang adalah ilah yang tidak mempunyai kepastian. Ilah-ilah dunia ini tidak mampu menyelamatkan dan membawa kebahagiaan bagi hati manusia. hanya Allah saja yang dapat. Kembali beriman kepadaNYA, itulah yang harus kita temukan.” Kembali beriman kepadaNya, harus menjadi perhatian kita agar kehidupan kita, keluarga kita dan kerohanian kita tidak digilas oleh kemajuan jaman. (J.Theo)