DENIS MUKWEGE
(image dari https://www.umu.se)
Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini dianugerahkan kepada dua orang “atas upaya mereka untuk mengakhiri penggunaan kekerasan seksual sebagai senjata perang dan konflik bersenjata”, yaitu Nadia Murad, seorang perempuan Yazidi dan aktivis HAM yang pernah menjadi korban perdagangan manusia dan budak seksual ISIS di Irak, dan Dr Denis Mukwege, seorang dokter ahli penyakit wanita yang mendedikasikan karirnya untuk mengobati perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Republik Demokratik Kongo.
Dr Mukwege sendiri adalah anak seorang pendeta dan sewaktu ia masih kecil ia sering menemani ayahnya ketika ia mengunjungi jemaatnya yang sakit. Satu hari ia bertanya kepada ayahnya, “Papa berdoa dengan orang yang sakit, namun mengapa Papa tidak memberikan mereka obat?” Ayahnya menjawab, “Karena Papa bukan seorang dokter.” Mukwege mengenang, saat itulah ia mengetahui apa yang ia ingin lakukan ketika ia sudah besar, yaitu menjadi dokter. Awalnya ia ingin menjadi dokter anak untuk mengurangi tingginya angka kematian bayi di Kongo, namun arah hidupnya berubah ketika perang pecah di Kongo pada pertengahan 1990an. Ia menyaksikan kekejian yang ia tidak pernah bayangkan sebelumnya, dimana pemerkosaan dan pengrusakan alat kelamin perempuan dijadikan sebagai senjata perang. Sejak saat itulah ia membaktikan hidupnya untuk mengobati dan memulihkan perempuan-perempuan, dari anak-anak sampai orang tua, yang menjadi korban kekerasan seksual perang Kongo ini secara holistik, mulai dari segi medis, psikologis, sampai bantuan hukum dan ekonomi. Rumah sakit yang didirikannya telah menangani lebih dari 85 ribu pasien dengan luka dan trauma ginekologis, dengan mayoritasnya diakibatkan oleh kekerasan seksual.
Dalam pidatonya di hadapan sidang Majelis Umum Federasi Lutheran Sedunia pada tahun 2017, Dr Mukwege berkata, “Karena kita telah dimerdekakan oleh kasih karunia, kita harus bekerja pula untuk memerdekakan sesama kita. Jika kita tidak melakukannya, maka kita sesungguhnya telah menginjak-injak kasih karunia Tuhan bagi kita… Jika kita adalah milik Kristus, kita tidak punya pilihan selain bersama yang lemah, yang terluka, para pengungsi dan perempuan yang mengalami diskriminasi. Jika kita adalah milik Kristus, kita harus bersuara, kita harus mengutuk kejahatan. Allah telah memberikan kepada gereja karunia untuk menjadi suara bagi orang yang tidak bersuara, untuk membebaskan para tawanan dan untuk selalu menanti-nantikan datangnya kerajaan Allah.” (SH)