INDAHNYA BERBUAT BAIK
(image dari: www.loveexploring.com)
Seorang teman bercerita kepada saya. Begini ceritanya: Desember 2016 yang lalu, saya melakukan perjalanan dengan pesawat udara. Di kursi 17A dekat jendela duduk seorang wanita setengah baya dengan memangku seorang anak usia 2 tahun. Seorang bapak, usia sekitar 50 tahunan duduk di kursi 17B. Kursi 17C dekat lorong duduk seorang pemuda usia sekitar 35 tahunan. Sementara saya duduk di kursi 17D. Sebelum take off terjadi percakapan antara ibu dan bapak 50 tahunan itu. Si ibu berkata bahwa ia dari Bandung dan mau natalan di kampung, karena sudah 11 tahun ia tidak pulang kampung.
Saat pesawat sudah mengudara dan lampu tanda sabuk pengaman sudah dipadamkan, pramugari mulai membagikan makanan. Sesampai di deretan kursi nomor 17, pramugari meletakkan 3 kotak makanan dan 3 air mineral di meja kursi nomor 17C. Anehnya pemuda yang duduk di kursi 17C diam saja dan tidak membagikan makanan itu ke yang duduk di di sebelahnya. “Permisi, saya ambil dan bagikan makanannya ya”, kata sang bapak yang duduk di tengah. Pemuda itu hanya diam tak berekspresi.
Di ketinggian puluhan ribu kaki, pesawat semakin terasa dingin. Saya lihat si ibu mulai kedinginan, ia mulai menggigil sambil menggendong anaknya. Si ibu berkata bahwa ia baru sembuh dari sakit panas hampir 40°C. Tanpa diminta, si bapak menekan bel dan memanggil pramugari untuk meminta selimut serta bertanya kepada si ibu apakah perlu obat karena pasti di pesawat tersedia obat-obat untuk P3K. Si ibu berkata bahwa ia membawa obat sendiri. Dengan sigap si bapak berkata, “Jika ibu mau minum obatnya, biar saya gendong anak ibu lalu ibu bisa istirahat.” Si ibu menyerahkan anaknya kepada si bapak itu dan luar biasa, si bapak menggendong anak ibu itu. Kira-kira 2 jam kemudian, ketika pengumuman pesawat akan mendarat maka si ibu berkata bahwa ia sudah merasa lebih baik. “Mari pak, saya gendong kembali anak saya. Saya sudah ok koq,” begitu kata si ibu sambil mengambil anaknya dari gendongan si bapak. “Terima kasih pak, Tuhan memberkati bapak. Saya percaya, Tuhan akan membalas kebaikan bapak, “ kata si ibu. Si bapak menjawab: “Terima kasih.”
Saat menuruni tangga pesawat, saya tersandung. Ini bukan karena saya melamun tetapi karena terus berpikir bahwa bapak itu telah menjadi contoh konkrit tentang kepedulian dan kebaikan terhadap sesama. Bapak itu sudah memakai setiap kesempatan untuk berbuat baik. Bapak itu sudah menjadi berkat buat sesama. Sementara si pemuda di 17C sangat tidak berbuat apa-apa.
Sambil terus melangkah menuju ke terminal, saya berpikir, “Sudahkah saya mengambil setiap kesempatan untuk berbuat baik, supaya saya dapat bersyukur kepada Tuhan, agar kasih Tuhan nyata melalui diri saya. Marilah kita menjadi saksi Kristus melalui perkara-perkara kecil menunjukkan perbuatan baik kita agar terang kita nyata dan orang di sekitar kita memuliakan Bapa di sorga. Demikianlah cerita teman saya itu.
Saya coba merenung atas cerita itu: Ketika kita berbuat baik, maka kebaikan itu bukan hanya dirasakan oleh orang yang kepadanya kita berbuat baik tetapi juga dirasakan oleh orang-orang di sekeliling yang bersangkutan. Sekecil apapun perbuatan baik kita, itu pasti berdampak besar bagi orang lain. Satu kebaikan yang kita perbuat kepada satu orang akan dirasakan oleh lebih dari satu orang. Persis seperti yang Tuhan Yesus katakan: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Matius 5:48) (J.Th)