K R I S I S
Awal tahun ini dibuka dengan beberapa kejadian alam luar biasa. Di Jakarta dan sekitarnya, turun hujan lebat dengan curah hujan yang tertinggi sepanjang sejarah pencatatan curah hujan di Jakarta selama 154 tahun. Di Australia, cuaca panas dan kering yang ekstrim turut berkontribusi dalam menyebabkan kebakaran semak dan hutan yang sangat luas, dengan total area yang terbakar sebanyak 18,6 juta hektar (sampai tanggal 14 Januari 2020), sekitar 1 miliar ekor hewan tewas, dan 29 orang meninggal dunia. Kedua peristiwa ini terkesan bertolak belakang. Yang satu hujan lebat, yang lain kekeringan. Namun sesungguhnya keduanya berakar dari hal yang sama yaitu perubahan iklim. Beberapa hari yang lalu NASA juga mengkonfirmasi bahwa tahun 2019 adalah tahun terpanas kedua sepanjang sejarah (setelah tahun 2015), mengikuti tren pemanasan global selama beberapa dekade terakhir ini.
Krisis iklim berarti bahwa cuaca ekstrem seperti contoh-contoh di atas akan semakin sering terjadi. Namun hal ini tidak berarti bahwa kita hanya bisa ‘pasrah’ terhadap cuaca-cuaca ekstrem. Justru sebaliknya. Hal ini menggarisbawahi perlunya gereja memandang peran profetiknya dengan lebih serius untuk menanggapi isu ini. Lagipula, bukankah pemeliharaan ciptaan merupakan salah satu mandat yang diberikan oleh Allah kepada manusia ketika Ia menciptakan bumi ini beserta segala isinya? Seperti tertulis, “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kejadian 2:15)
Saya akan menutup dari surat ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Laudato Si, yaitu surat himbauan Paus mengenai bagaimana kita sepatutnya merawat rumah kita bersama, i.e., bumi ini. Paus menulis,
“Umat manusia masih memiliki kemampuan untuk bekerja bersama dalam membangun rumah kita bersama… Setiap komunitas dapat mengambil dari bumi apa yang dibutuhkannya untuk bertahan hidup, tetapi ia juga memiliki kewajiban untuk melindungi bumi dan memastikan keberlanjutannya bagi generasi mendatang… Menjalani panggilan kita untuk melindungi pekerjaan tangan Allah adalah hal yang esensial bagi kehidupan yang kudus; ini bukan aspek yang opsional atau sekunder dari kehidupan Kristen kita.” (SH)