Orang Kudus
“Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus.” (Kel 19:6)
Pada tanggal 27 April yang lalu, Paus Yohanes XXIII (1958-1963) dan Paus Yohanes Paulus II (1978-2005) resmi diakui sebagai santo oleh Gereja Katolik Roma. Paus Yohanes XXIII berjasa sebagai paus yang mengadakan Konsili Vatikan II (1962-1965), sementara Paus Yohanes Paulus II diakui perannya dalam melawan Komunisme di Eropa sampai keruntuhannya pada tahun 1989.
Kata ‘santo’ sendiri berasal dari kata sanctus di dalam bahasa Latin yang berarti ‘yang dikuduskan’ atau ‘yang dikhususkan’. Di Perjanjian Baru, ‘orang kudus’ merujuk kepada semua orang yang hidup di dalam Kristus yang mampu mempertahankan integritas moral dan kesuciannya didalam masyarakat. Rasul Paulus, misalnya, membuka salamnya kepada jemaat di Roma demikian, “Kepada kamu sekalian yang tinggal di Roma, yang dikasihi Allah, yang dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus.” (Rm 1:7) Begitu juga dengan penulis surat Ibrani yang menutup suratnya demikian, “Sampaikanlah salam kepada semua pemimpin kamu dan semua orang kudus.” (Ibr 13:24)
Dalam perkembangannya, gereja mengakui secara resmi beberapa orang sebagai santo/a, yaitu orang-orang yang integritas iman dan kekudusannya layak untuk diteladani oleh semua orang. Kanonisasi santo/a ini bukan bertujuan untuk membentuk suatu grup yang eksklusif, namun untuk memberikan inspirasi kepada jemaat dalam menjalani kehidupan mereka di dalam Tuhan.
Para santo-santa ini bukanlah orang-orang super yang memiliki kekuatan spesial. Mereka juga adalah orang-orang yang biasa, sama seperti kita tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki tekad kuat, integritas kuat dalam mempertahankan kesucian dan iman. Orang-orang kudus adalah orang-orang biasa yang dipanggil untuk menjadikan hidup yang ‘biasa’ ini menjadi kudus. Orang-orang kudus bukanlah orang-orang yang hidup secara eksklusif dan tidak mau berbaur dengan dunia, namun justru sebaliknya. Meneladani Yesus, tetap hidup berbaur dengan dunia tetapi dengan integritas kesucian iman. (SH)