Pertanyaan Mengenai Kitab Deuterokanonika
by ADMIN ·
Pertanyaan 1.
Bagaimana sejarah adanya kitab Deuterokanonika?
Jawaban 1:
Kitab (atau lebih tepatnya kitab-kitab) Deuterokanonika memiliki sejarah yang panjang. Istilah deuterukanonika sendiri dicetuskan oleh seorang teolog Yahudi yang menjadi imam gereja Katolik pada tahun 1566 M. Ia bernama Sixtus of Siena atau juga dikenal sebagai Sixtus Senensis. Deuterokanonika berasal dari dua kata, yaitu deuteros (yang berarti kedua) dan kanon (yang berarti standar atau ukuran). Dengan demikian, deuterokanonika dipahami sebagai 'kanon atau standar kedua'.
Pada masa intertestamental, kitab-kitab deuterokanonika ditulis dalam bahasa Yunani dan dimasukkan ke dalam kumpulan kitab yang disebut Septuaginta (Alkitab Perjanjian Lama yang ditulis dalam bahasa Yunani). Tetapi, kelompok rabi Yahudi yang lebih tegas dan teliti dengan tulisan-tulisan Kitab Suci tidak setuju kitab-kitab deuterokanonika dimasukkan ke dalam kumpulan Kitab Suci. Mereka membuat berbagai konsili. Salah satu konsili yang menentukan penyusunan kanon Perjanjian Lama ialah konsili Jamnia (atau sering juga dikenal dengan sebutan konsili Yavneh atau Sinode Jamnia) pada tahun 90M. Pada konsili ini diputuskan bahwa yang termasuk dalam kanon Perjanjian Lama ialah 39 kitab Perjanjian Lama. Para rabi Yahudi menolak gulungan-gulungan kitab deuterokanonika karena beberapa hal: (a) dinilai tidak memiliki pesan ortodoksi yang sama dengan kitab-kitab yang lain, (b) kitab-kitab ini ditulis pada tahun-tahun yang kemudian (sebagian besar ditulis pada abad ke-4), berbeda dengan kanon Perjanjian Lama yang ditulis pada tahun-tahun yang lebih awal, (3) memiliki ketidaksesuaian data sejarah dan probematika linguistik. Akhirnya, para rabi menetapkan 39 kitab Perjanjian Lama sebagai kanon (standar atau ukuran) yang dipakai untuk Kitab Suci.
Setelah itu, kanon Perjanjian Baru (27 kitab) terjadi secara bertahap melalui berbagai konsili Bapa Gereja. Hal ini dilakukan karena muncul berbagai pengajaran sesat di seputar kehidupan jemaat pada waktu itu. Para Bapa gereja merasa penting untuk melindungi ajaran yang sehat dan menjaga iman jemaat dari penyesatan. Kitab-kitab deuterokanonika yang cukup banyak tersebar pada masa kanon Perjanjian Baru disusun ialah kitab-kitab gnostik. Gulungan kitab-kitab gnostik seolah-olah memiliki pesan yang mirip dengan kanon Perjanjian Baru, tetapi sesungguhnya berbeda. Para Bapa Gereja secara bertahap memilih dan memilah kanon dengan menerapkan 4 prinsip, yaitu: (1) apostolicity, apakah kitab-kitab itu ditulis oleh nabi atau rasul atau orang yang hidup dekat dan se-zaman dengan nabi/rasul. Dengan kata lain, apakah si penulis adalah saksi mata (eye-witness) dari kejadian yang ia tulis; (2) ortodoksi, apakah isi kitab itu selaras dengan ajaran Tuhan Yesus atau pengakuan iman para rasul; (3) relevance, apakah isi pengajaran kitab itu menyentuh masalah dan kebutuhan terdalam umat manusia sampai masa kini; (4) ubiquity/homologoumena, apakah kitab tersebut tersebar dengan luas di perkumpulan-perkumpulan orang percaya di tempat-tempat yang berbeda dan digunakan secara bersama-sama. Keempat prinsip ini menjadi ukuran dasar untuk menolong para Bapa Gereja menyusun kanon Perjanjian Baru. Melalui berbagai konsili, maka tersusunlah kanon Perjanjian Baru yang terdiri dari 27 kitab. Mereka tidak memasukkan kitab-kitab deuterokanonika dengan alasan serupa sebagaimana dipaparkan oleh para rabi dalam konsili Jamnia.
Pertanyaan 2.
Mengapa Gereja Kristen menolak kitab Deuterokanonika sebagai bagian dari Alkitab Perjanjian Lama dan Baru?
Jawaban 2:
Untuk pertanyaan ini, saya sudah menjawabnya di atas.
Mengapa Gereja Katolik mengakui kitab-kitab ini?
Gereja Katolik menerima deuterokanika sesuai dengan namanya, yaitu kanon kedua. Mereka tidak menjadikan kitab-kitab ini sebagai kanon pertama. Gereja katolik tetap menjadikan ke-66 kitab sebagai kanon pertama, tetapi deuterokanonika diterima dan dimasukkan ke dalam Alkitab Katolik sebagai 'tambahan' kanon mereka. Hal ini dilakukan karena mereka melihat kitab-kitab ini tetap memiliki manfaat, baik secara spiritual maupun sejarah.
Pertanyaan 3:
Apabila Allah menghendaki, sudah seharusnya perumus alkitab-alkitab ini dituntun oleh Roh, dalam merumuskan Alkitab. Oleh sebab itu kenapa kedua Gereja ini memiliki kitab yang berbeda, sedangkan kedua perumus alkitab ini mengandalkan Roh yang sama dalam merumuskan alkitab.
Jawaban 3:
Benar sekali. Penulisan kitab dan perumusan kanon merupakan proses yang panjang dan proses yang dituntun oleh Roh Kudus. Walaupun demikian, keputusan untuk memasukkan sebuah kitab ke dalam kanon ialah keputusan manusia. Pada bagian ini dapat terjadi perbedaan. Sama seperti jika satu teks atau perikop dalam Alkitab dibaca oleh beberapa orang. Sekalipun Roh Kudus yang sama memimpin orang-orang tersebut, dapat terjadi perbedaan-perbedaan sudut padang ketika memahami sebuah tulisan yang sama.
Walaupun demikian, bahkan dalam perbedaan tafsiran, biasanya kita mendapati ada kesamaan dalam pengertian secara garis besar. Perbedaan-perbedaan kecil biasanya muncul sebagai bentuk keragaman. Dalam hal perbedaan kanon, kita mendapati bahwa baik Protestan dan Katolik tetap melihat ke-66 kitab sebagai kanon pertama. Perbedaannya, Protestan menolak untuk memasukkan tambahan ke dalam kanon pertama, sementara Katolik memasukkannya.
Pertanyaan 4.
Mengapa Allah mengizinkan hal ini terjadi? Bukan kah dalam hal ini ada yang benar dan ada yang salah? Tidak bisa kedua-dua nya benar.
Jawaban 4:
Betul. Seperti yang saya uraikan dalam penjelasan di atas, para Bapa Gereja melihat bahwa kitab-kitab deuterokanonika dapat dibaca sebagai kitab sejarah, tetapi tidak layak untuk disejajarkan dengan kanon Kitab Suci. Seringkali Allah mengizinkan perbedaan terjadi karena Allah menghargai kehendak bebas manusia.
Allah tidak memaksa manusia untuk memilih yang benar, melainkan memberikan hikmat, akal sehat dan pengajaran firman-Nya agar, dalam kesadaran dan kehendak bebasnya, manusia memilih yang benar. Hal ini dibutuhkan karena yang Allah inginkan bukanlah ketaatan buta, melainkan kasih yang lahir dari hati yang bebas. Ketaatan yang buta ialah seperti machine learning yang selalu akan memberikan jawaban yang sesuai atau seturut kemauan dari si penyusun program. Ia tidak memiliki kehendak bebas selain memberikan jawaban seturut kemauan si pembuat program. Hal ini berbeda dengan manusia, Allah memberi kita kehendak bebas semata-mata karena Ia adalah kasih. Dan Allah menginginkan kita mengasihi-Nya dengan tulus. Kasih yang tulus hanya bisa keluar dari hati dan kehendak yang bebas, bukan karena program, atau terpaksa.
Kiranya diskusi ini menginspirasi Anda untuk terus terus mendalami sejarah iman Kristen dan melaluinya Anda makin bertumbuh mengenal dan mengasihi Allah.
Tuhan memberkati.
Pdt Yudi Jatmiko
Question 1: What is the history of the Deuterocanonical books?
Answer: The Deuterocanonical books have a long history. The term “Deuterocanonical” was first introduced by Sixtus of Siena, a Jewish theologian who became a Catholic priest in 1566 AD. The word comes from two Greek terms: "deuteros" (meaning "second") and "kanon" (meaning "standard" or "measure"). Thus, Deuterocanonical books are understood as the "second canon."
During the Intertestamental period, the Deuterocanonical books were written in Greek and included in the Septuagint (the Greek Old Testament). However, Jewish rabbis who adhered strictly to the Hebrew Scriptures did not accept the Deuterocanonical books as part of the Old Testament canon. Various Jewish councils were convened to establish the official canon. One significant council was the Council of Jamnia (or Synod of Jamnia) in 90 AD, where rabbis finalized the 39 books of the Hebrew Bible (Old Testament).
The rabbis rejected the Deuterocanonical books due to the following reasons:
Lack of Orthodox Message – The content was not fully aligned with other accepted books.
Later Date of Writing – Most of these books were written in the 4th century BC, whereas the accepted Old Testament books were written much earlier.
Historical and Linguistic Issues – Some Deuterocanonical books contained inconsistencies in historical data and linguistic problems.
Following this, the New Testament canon (27 books) was established gradually through Church Councils. The process was necessary to counter heretical teachings emerging within Christian communities. The Early Church Fathers sought to preserve doctrinal purity, carefully selecting New Testament books based on four principles:
Apostolicity – Written by an apostle or someone closely associated with an apostle.
Orthodoxy – Content must align with the teachings of Jesus Christ and the apostles' creed.
Relevance – Teachings must address fundamental human and spiritual needs.
Ubiquity (Homologoumena) – Widely accepted and used across different Christian communities.
Through various councils, the New Testament canon was finalized with 27 books, excluding the Deuterocanonical books for reasons similar to those raised by Jewish scholars at the Council of Jamnia.
Question 2: Why did the Christian Church reject the Deuterocanonical books as part of the Old and New Testament?
Answer: I have already answered this question above.
However, why does the Catholic Church accept these books? The Catholic Church acknowledges the Deuterocanonical books as a second canon, meaning they are not placed at the same level as the primary 66 books. The Catholic Church accepts these books and includes them in the Catholic Bible as an additional part of their canon. This is done because they consider these books valuable for historical and spiritual insights.
Question 3: If God wills, shouldn't the people who compiled the Bible be guided by the Holy Spirit? Then why do these two churches have different books if both rely on the same Spirit for guidance?
Answer: Yes, the writing of Scripture and the process of canon formation were guided by the Holy Spirit. However, the final decision to include a book in the canon was still a human decision, which may have led to differences. Just as multiple individuals reading the same Bible passage might interpret it differently, even with the guidance of the Holy Spirit, diverse perspectives can emerge.
Despite this, both Protestants and Catholics recognize the 66 books of the Bible as the primary canon. The difference lies in the Catholic Church choosing to include additional books, while Protestants reject any additions beyond the original first canon.
Question 4: Why did God allow this to happen? Isn't there a right and wrong decision? Both cannot be correct.
Answer: You’re right—there is truth and error. However, as explained earlier, the Church Fathers viewed the Deuterocanonical books as historical writings but not worthy to be included as canon. Often, God allows differences because He respects human free will.
God does not force people to choose the right path but instead provides wisdom, reason, and His Word, allowing them to make informed decisions freely. This principle is essential because God desires not just blind obedience, but genuine love and faith from a free heart.
Blind obedience—similar to how machine learning follows programmed responses—lacks free will. But humans are different. God gives us free will because He is love, and He wants us to love Him genuinely and voluntarily. True love can only come from a free heart, not from force or compulsion.
May this discussion inspire you to further explore Christian history and deepen your faith and knowledge of God.
God bless you.
Rev. Yudi Jatmiko