SALIB PETRUS
“Barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang.” (Mat 26:52)
Begitulah perkataan Tuhan Yesus kepada Petrus setelah Petrus menghunuskan pedangnya dan memotong telinga salah satu hamba Imam Besar yang ada saat penangkapan Yesus.
Petrus pada akhirnya memang akan menemui akhir yang tragis dalam hidupnya. Alkitab sendiri tidak mencatat bagaimana mengenai kematian Petrus (kalau kita mengikuti narasi di Kisah Para Rasul, maka terakhir kita membaca mengenai Petrus adalah saat sidang rasul-rasul di Yerusalem di Kisah 15) Namun tradisi gereja mencatat bahwa Petrus (dan Paulus) meninggal dunia sebagai martir di Roma pada pemerintahan Kaisar Nero di pertengahan dekade 60an Masehi, dimana makamnya dipercaya terletak di lokasi yang sekarang menjadi Basilika Santo Petrus di Vatikan.
Tradisi gereja, yang dimulai di kitab apokrifal Kisah Petrus (Acts of Peter) di abad ke-2 Masehi, mencatat bahwa Petrus mati disalibkan terbalik. Seorang bapa gereja di abad ke-3 Masehi, Origen, berkomentar, “Petrus disalibkan di Roma dengan terbalik, seperti yang ia sendiri kehendaki untuk menderita.” Seorang sejarawan Romawi, Josephus, mencatat bahwa saat itu memang terkadang prajurit Romawi mencari hiburan tersendiri dengan menyalibkan orang-orang dengan posisi yang berbeda-beda, dan ini mungkin menjadi acuan bagaimana tradisi ini muncul. Sementara menurut kitab Kisah Petrus sendiri, Petrus tidak merasa pantas untuk disalibkan dengan posisi yang sama seperti Tuhan Yesus, karena itu ia meminta untuk disalibkan dengan posisi terbalik.
Sepanjang masa Prapaskah ini kita banyak belajar dari kisah salib-salib seputar salib Yesus, dimana salib pertama yang kita pelajari adalah salib kita sendiri sebagai murid Yesus: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23) Saat ini kita cenderung mengartikan ‘memikul salib’ secara simbolik atau metaforis, namun bagi pengikut Yesus mula-mula ‘memikul salib’ dapat berarti secara literal, dimana ada kemungkinan bahwa memang mereka akan mati di kayu salib, seperti Petrus sendiri. Kemungkinan mati martir mungkin tidak pernah terpikir di benak kita, apalagi bagi kita yang sudah terbiasa dengan hidup yang serba nyaman di Singapura. Namun penindasan berbasis agama masih ada di berbagai belahan dunia, bahkan termasuk di negeri asal kita, Indonesia. Pertanyaan bagi kita semua adalah, siapkah kita jika Tuhan memang memanggil kita untuk ‘memikul salib’, menderita dan menjadi seorang martir? (SH)