Segala Bangsa dan Bahasa
“Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka.” (Why 7:9)
Pada masa Adven tahun ini kita mengadakan ibadah dengan nuansa etnis tertentu setiap minggunya, dimana salah satu aspeknya adalah dengan menyanyikan lagu-lagu dengan berbahasa etnis tersebut. Beberapa dari kita mungkin ada yang merasa tidak nyaman dan merasa kesulitan ketika harus menyanyi menggunakan bahasa yang tidak kita mengerti. Sebagian lagi mungkin merasa diperkaya imannya ketika mendengarkan puji-pujian dari berbagai bahasa ini.
Kepelbagaian bahasa sendiri dijelaskan dalam Alkitab lewat peristiwa Babel. Alkisah seluruh bumi satu bahasanya dan logatnya, sebelum Tuhan menyerakkan mereka ke seluruh bumi dan mengacaubalaukan bahasa mereka. Apakah itu berarti bahwa kepelbagaian bahasa adalah sesuatu yang buruk dan idealnya semua bangsa berbahasa yang sama kembali? Jawabannya adalah tidak.
Kita menemukan jawaban ini di peristiwa Pentakosta, yang memutarbalikkan peristiwa Babel. Pada hari Pentakosta, Roh Allah turun atas para murid yang berasal dari berbagai bangsa, dan mereka terheran-heran karena mereka mendengar rasul-rasul berkata-kata dalam bahasa mereka masing-masing. Karena itu, Pentakosa menjadi tanda realita langit dan bumi yang baru, dimana “bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya… dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya.” (Why 21:24, 26) Bahasa adalah salah satu kekayaan sebuah bangsa, dan keanekaragaman ini akan tetap ada nantinya di langit dan bumi yang baru. Yang berbeda adalah saat itu kita dapat mengerti satu sama lain walau kita menggunakan bahasa kita masing-masing yang berbeda, seperti yang diisyaratkan oleh hari Pentakosta. Karena itu pula gereja menghargai kepelbagaian budaya dan bahasa ini dengan terus berusaha menggali kekayaan budaya lokal yang ada. Tidak ada budaya atau bahasa yang superior di dalam kekristenan. Dengan demikian, kiranya ibadah Adven ini dapat menginspirasikan kita untuk terus berdoa menantikan kedatangan Yesus yang akan memperbaharui langit dan bumi ini, dimana kita akan saling mengerti satu sama lain walau kita menggunakan bahasa kita masing-masing yang berbeda-beda. Ya, datanglah Tuhan Yesus! (SH)