Tuhan Menggunakan Kekurangan (II)
Fisik saya lemah. Saya lemah dalam kinestetik/koordinasi gerak dan spasial. Saya juga berat lidah, seperti gong, kalau tidak ditabuh, tidak berbunyi – tidak mengerti basa basi. Namun beginilah cara Tuhan membentuk saya.
Masa kanak-kanak di kampung, saya diijinkan Mama ke rumah tetangga untuk main dengan teman. Kami main benteng-bentengan (sampai dahi benjol sebesar bola pingpong), lompat tali (tulang paha lepas dari tulang pinggul), dan bola tembok dengan teman-teman sekampung. Mulai kelas 2 SMP, saya naik sepeda ke sekolah (lebih senang naik becak). Usia 16, setelah lahir baru, saya bisa naik bis Probolinggo-Surabaya tanpa mabuk (Tuhannya Simson juga Tuhan saya). Di sekolah dan gereja saya disukai guru (karena pendiam, duduk manis), dipercayakan tanggung jawab memimpin (OSIS dan Pramuka) dan menjadi ketua remaja dan guru Sekolah Minggu (SM) ketika kelas 3 SMA. Mulanya saya menolak ketika Pendeta meminta saya jadi ketua, tapi Tuhan menegur melalui kisah Musa di Keluaran 3. Saya belajar berbicara kepada orang tua ketika berkunjung ke rumah anak-anak SM. Saya menyaksikan bahwa bukan karena kepandaian saya berbicara, tapi kuasa Tuhanlah yang menggerakkan orang.
Cita-cita saya cuma satu, dokter, tapi jalan ke sana ditutup Tuhan, karena tidak ada uang untuk kuliah kedokteran. Saya disarankan oleh seorang penginjil untuk kuliah bahasa Inggris karena saya ingin jadi misionaris. Saya dipaksa banyak bicara, karena fakultas keguruan saya mengharuskan praktek mengajar. Karena perlu uang saya juga memberi les privat ke rumah anak les jadi mengenal jalan-jalan di Surabaya. Setelah berkenalan dengan pemuridan Navigator, saya diijinkan Tuhan ikut training mereka di Colorado Springs selama 2 tahun. Jauh sekali, sendirian, dingin sekali, dan asing. Saya jadi mengerti mengapa saya harus kuliah bahasa Inggris lebih dulu. Ternyata kemudian juga untuk kuliah di SBC.
Tuhan ‘memaksa’ saya melakukan hal-hal yang saya tidak mampu supaya saya mengalami kuasaNya, mengenal Dia lebih dekat melalui bergantung kepadaNya dengan berdoa dituntun oleh firmanNya dan tidak mencuri kemuliaanNya.
Masih banyak yang lain Tuhan kerjakan dalam mengubah saya, tapi biarlah kesaksian ini cukup untuk memberi diri saudara/i yang ‘lemah’, bukan hanya yang ‘kuat’ untuk melayani DIA. Soli deo gloria. (Hartati Muljani Notoprodjo)