Perjamuan Kudus: Ritual Pembentukan dan Pembaharuan Rohani
Ronald Grimes, seorang antropologis mengemukakan pentingnya ritual bagi kehidupan manusia. Sama halnya dengan Pdt Susan Marie Smith mengajak kita untuk tidak cepat prasangka ketika mendengar “ritual”, sebab memikirkan, mempelajari & mempraktekkan ibadah, apalagi Perjamuan Kudus, berhubungan dengan ritual.
Sebenarnya tidak bisa dipungkiri bahwa manusia membutuhkan ritual dalam melewati tahapan kehidupan. Contoh: ulang tahun. Ritual menyanyikan lagu ulang tahun, tiup lilin, potong kue, didoakan, dll mempengaruhi pembentukan jati diri seorang pribadi. Ritual tsb memberitahu bahwa eksistensi seseorang dihargai dan dirayakan. Contoh lainnya misalkan mendidik anak-anak mengenai kebersihan diri. Bagaimana caranya? Melalui ritual gosok gigi dua kali sehari yang perlu diberikan sebagai edukasi, supervisi dan akhirnya pelaksanaan berulang kali atau ritualisasi. Hanya dengan ritual kebersihan diri itulah, pembentukan anak yang paham arti pentingnya higenis, baru bisa terjadi. Ritual yang dimengerti maknanya dan dilakukan dengan setia, perlahan akan menjadi bagian jati diri anak-anak Tuhan untuk membentuk kerohanian.
Tuhan Allah pun tidak anti ritual. Bahkan Allah menginstitusikan ritual. Ritual yang perlu dipraktekan supaya makna karya keselamatanNya terus dialami tiap kali ritual dilakukan. Keluaran 12:1-13:16, Imamat 1-7, Imamat 23, dll adalah beberapa contoh eksplisit ritual dicetuskan oleh Tuhan dengan makna yang jelas. Keempat Injil pun mencatat bahwa Tuhan Yesus tetap mengikuti ritual perayaan paskah Yahudi. Tentu Tuhan Yesus memaknai ulang ritual tsb dalam hubungan dengan diriNya sebagai Anak Domba Paskah lewat perjamuan malam terakhir. Tuhan Yesus melakukan ritual makan paskah sebagai momen penggembalaan yang menguatkan para murid.
Sayangnya sebagian orang Kristen menganggap ritual merupakan hal yang tak berarti, tak bermakna sehingga sering keluar istilah ‘ritual kosong’. Inipun terjadi ketika gereja Protestan berhadapan dengan Perjamuan Kudus. Perjamuan yang merupakan sentral ibadah yang berpusat pada Injil Kristus malah dianggap “ritualistik” jika dilakukan lebih banyak. Ritual menjadi tidak bermakna jika tidak dimengerti signifikansinya. Bukankah makna pengorbanan Kristus lewat Perjamuan Kudus layak diulangi dengan lebih sering, mengingat kita adalah pelupa dan mudah sekali diterpa oleh kenyamanan hidup? Bukankah sentralitas Injil divisualkan ketika kita mengambil roti dan cawan? Jangan-jangan yang perlu diubah adalah cara pandang kita yang skeptis atas ritual.
Lukas 24:13-35 menampilkan peran strategis Perjamuan Kudus untuk memberi motivasi dan pembaharuan ajaib atas kondisi mental serta batin yang sedang ambruk.
Lewat ritual perjamuan, ketika roti dipecahkan, mereka menjumpai Yesus sesaat dan seketika itu juga hati mereka dikuatkan dan diteguhkan untuk kembali ke Yerusalem untuk bersaksi. Perjamuan Kudus adalah ritual kasih supaya kita berjumpa dengan Allah yang kasihNya telah dibuktikan. Perjamuan Kudus juga adalah momen agar kita bisa mengalami pembaharuan dedikasi, penyegaran batin bahkan ditambahkan courage untuk menghadapi realita kehidupan.