ALKITAB DAN 500 TAHUN REFORMASI
Sebagian orang Kristen merasa membaca Alkitab ialah beban dan keharusan yang berat. Seperti layaknya minum obat, tidak enak tapi mau tidak mau harus dilakukan. Tetapi banyak juga yang mencintai Alkitab. Mereka membaca dan menggumulkannya. Mereka melakukan kebenaran-kebenaran yang dipelajari dalam Alkitab. Orang-orang yang demikian, “kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam” (Mazmur 1:2). Inilah yang ada dalam hati Mary Jones.
Mary Jones (16 Desember 1784 – 28 Desember 1864) adalah seorang gadis remaja dari Wales. Mary tinggal di Tyn-ddol di desa Llanfihangel-y-Pennant di sebelah utara Wales, Inggris. Sejak menerima Kristus di usia delapan tahun, Mary begitu terpukau dengan cerita-cerita dalam Alkitab yang dibacakan di sebuah kapel kecil dekat rumahnya. Tetapi karena Mary berasal dari keluarga yang sederhana, keluarganya tidak mampu membelikannya sebuah Alkitab. Lagipula, harga Alkitab sangat mahal pada waktu itu. Dalam hati Mary bertekad untuk memiliki Alkitab dan membacanya sendiri. Akhirnya, Mary berusaha menabung dari usahanya sehari-hari menjual telur ayam. Sehari demi sehari ia mengumpulkan uang dari hasil dari penjualan telur ayam. Sehari demi sehari yang ia ingat ialah memiliki Alkitab sendiri. Dan Mary melakukan ini selama 6 tahun! Ia bekerja dan menabung untuk membeli sebuah Alkitab yang dapat dibacanya sendiri. Singkat cerita, Mary berhasil mengumpulkan jumlah yang dibutuhkan untuk membeli sebuah Alkitab. Tapi ada satu masalah lagi: tempat membeli Alkitab sangat jauh, yaitu kira-kira 40 kilometer. Ini tidak menyurutkan semangat Mary untuk memiliki Alkitab. Ia berjalan kaki perlahan demi perlahan sambil membawa tabungan hasil menjual telur dengan satu tujuan mendapatkan Alkitab. Betapa besar cintanya kepada Alkitab.
Akhirnya tibalah Mary di kota Bala, tempat terdekat di mana ia dapat membeli Alkitab. Ia bertemu dengan Bp. Pdt. Thomas Charles yang segera melayaninya dengan baik. Mary mengutarakan keinginannya untuk membeli Alkitab. Ia juga menceritakan berapa lama ia berjuang untuk mengumpulkan tabungan dan jauhnya jarak yang ia tempuh untuk sampai di tempat itu. Bp. Pdt. Thomas Charles begitu terharu mendengar kisah Mary dan segera memberikan sebuah Alkitab kepadanya, satu-satunya yang tersisa di tempat penjualan itu.
Kisah Mary itu begitu membekas dalam hati Bp. Pdt. Thomas Charles sehingga ia menceritakannya kepada teman-temannya pada pertemuan di Konsili Religius Tract Society. “Tentunya masih banyak Mary Mary yang lain yang juga amat membutuhkan Alkitab. Kita harus berjuang mendirikan lembaga yang dapat mencetak lebih banyak Alkitab,” demikian Bp. Pdt. Thomas Charles menambahkan. Ini menjadi cikal bakal didirikannya Lembaga Alkitab di Inggris dan juga di negara-negara lain, termasuk Lembaga Alkitab Indonesia.
Bulan Oktober tahun ini, gereja-gereja di seluruh dunia memperingati 500 tahun Reformasi. Momentum di mana Alkitab diletakkan kembali menjadi sumber otoritas dan kebenaran. Menyambut 500 tahun Reformasi, berbagai seminar dilangsungkan, khotbah diberitakan, buku dan tulisan diterbitkan. Yang menjadi pertanyaan ialah seberapa dalam cinta kasih kepada Alkitab diberikan? Apakah kita tekun membaca dan merenungkan serta melakukan kebenarannya? Seberapa luas Alkitab mempengaruhi hidup kita? Hadiah terbaik dalam masa Reformasi 500 tahun ini tentunya ialah hidup yang terus berakar, bertumbuh, dan berbuah dalam kebenaran Alkitab. Kiranya cinta Mary kepada Alkitab mengisi hati kita juga setiap hari. Sola Scriptura! (yj).