Ibadah Minggu & Realita Hidup Senin-Sabtu
Sejak Mei 2014, gereja kita mengupayakan revitalisasi liturgi kebaktian minggu. Tentu dampak dari penyesuaian tsb dirasakan berbeda-beda oleh tiap lapisan jemaat. Ada jemaat yang merasa ibadah lebih baik. Namun pasti juga ada yang menganggap tidak ada implikasi signifikan. Berdampak atau tidaknya revitalisasi bagi kehidupan rohani kita nampaknya relatif terkait dengan (a) kedalaman keyakinan makna ibadah kristiani, (b) personalitas seseorang, (c) ekspektasi, (d) pengertian akan makna liturgi yang digunakan, (e) cara belajar tiap individu, dan (f) sikap hati ketika datang beribadah. Relatifitas ini makin bertambah intensitasnya kalau kita mengukur pekerjaan Tuhan dalam ibadah minggu lewat perasaan. Tersentuhnya emosi atau perasaan seseorang melalui elemen2 liturgi sangat penting, namun itu bukan segala-galanya. Oleh karena itu, ukuran terutama yang perlu digunakan adalah ketaatan melakukan apa yang kita nyanyikan, apa yang kita dengarkan dari khotbah, dan apa yang kita tekadkan ketika berdoa. Ketaatan untuk melakukan perubahan dalam hidup adalah bukti bahwa liturgi ibadah minggu sudah memiliki dampak otentik.
Ketaatan ini perlu terjadi dalam wadah kehidupan pekerjaan, keluarga, dan masyarakat dari Senin sampai Sabtu. Nicholas Wolterstorff merangkum prinsip ini dengan cermat dari sisi sejarah gereja. Gereja Katolik memandang hidup ibadah di hari Senin-Sabtu adalah demi ibadah minggu. Sehingga ibadah minggu tidak di desain dengan perspektif konsumeristik. Perhatikan liturgi yang digunakan di mayoritas gereja Katolik tradisional adalah sama dari satu gereja lokal dengan yang lainnya. Gereja Reformasi (abad 16 dan seterusnya) memandang ibadah minggu memiliki peran sangat penting untuk mempersiapkan hidup kristiani mulai hari Senin-Sabtu. Makanya liturgi mayoritas gereja protestan umumnya di desain untuk menguatkan, menyentuh dan memotivasi jemaat. Lokalitas gereja seperti kepemimpinan, karunia rohani dan sarana menjadi penting untuk mendukung upaya menyelenggarakan kebaktian yang bagus.
Saya mengajak semua jemaat untuk menjalani hidup ibadah sehari2 sebagai pribadi maupun keluarga. Tanpanya, kita akan terus merasa ibadah minggu membosankan dan tidak memiliki ‘gereget’ yang bisa menyentuh perasaan kita. Bukan liturginya yang salah, tetapi orang Kristen itulah yang salah kaprah. Jika kita tidak memiliki relasi intim (communion) dengan Tuhan tiap hari, maka kita harus lakukan revitalisasi atas revitalisasi liturgi yang sudah diterapkan.
Pada saat yang sama, saya mengajak semua jemaat untuk tidak bolos kebaktian minggu. Kadar kepentingan kebaktian minggu tidak boleh diturunkan lebih rendah dari kadar kepentingan kuliah, bekerja, acara keluarga, kelompok kecil dan yang lainnya. Sebab ibadah minggu adalah momen Tuhan berjumpa dengan umatNya secara kolektif demi penguatan identitas.(Pdt Budianto Lim)