IDENTITAS
Salah satu pertanyaan utama yang muncul ketika Israel dijajah oleh kerajaan asing adalah soal identitas. Ketika raja Antiokhus Epifanes dari dinasti Seleukia (bagian dari kerajaan Yunani) merebut Yerusalem pada tahun 167 SM, ia memerintahkan bahwa semua orang Israel harus melepaskan adatnya dan mengadopsi budaya Yunani. Kitab 1 Makabe mencatat, saat itu ada banyak orang Israel yang menuruti titah raja ini. Mereka memulihkan kulup sunat mereka dan melarang sunat, berhenti mempersembahkan korban bakaran di Bait Suci, mencemarkan hari Sabat dan hari-hari raya, makan makanan yang haram, dsb (1 Mak 1:10-2:64). Sebagai simbol bahwa sekarang budaya Yunanilah yang harus diikuti di Israel, raja Antiokhus Epifanes bahkan mempersembahkan babi sebagai korban bakaran di Bait Allah (1 Mak 2:54)!
Namun, ada sebagian dari bangsa Israel yang menetapkan hatinya untuk tetap setia kepada hukum Taurat, yaitu orang-orang Israel yang mencoba menjaga identitasnya sebagai umat perjanjian Allah. Karena itu, mulai muncul kriteria-kriteria tertentu, supaya orang bisa membedakan mana yang masih bisa dianggap sebagai Israel sejati, dan mana yang dianggap berkompromi dengan penjajah dan budaya asing. Pengembangan kriteria-kriteria ini dapat kita saksikan di kitab Daniel, misalnya, dimana Daniel dan kawan-kawannya bersedia untuk diganti namanya (karena itu di Perjanjian Baru sangat umum ditemukan orang Israel yang memiliki nama Yunani, seperti ‘Yesus’, bentuk Yunani dari ‘Yosua’), namun tidak bersedia untuk makan santapan raja yang haram (Dan 1:6-17).
Pertanyaan menjadi identitas ini juga masih menjadi isu dalam era Yesus. Hari Sabat, misalnya, juga menjadi salah satu kriteria dalam menentukan apakah seseorang masih tetap setia kepada Allah atau tidak. Selain itu, faktor lain yang muncul saat itu adalah adanya polisi agama/moralitas yang mencoba memantau bagaimana orang-orang melaksanakan hukum Taurat dalam keseharian mereka, yaitu, kaum Farisi. Oleh karena itu, kita menemukan berbagai konflik antara Yesus dengan kaum Farisi ini. Bagi kaum Farisi, Yesus telah menyalahi akidah identitas orang Israel dengan membiarkan murid-muridNya memetik bulir gandum di hari Sabat (Mrk 2:23-27). Sebaliknya, bagi Yesus, kaum Farisi terlalu berkutat terhadap pertanyaan identitas ini sampai-sampai mereka melupakan hakekat dari asal mulanya hari Sabat itu sendiri, yaitu bukan hari yang mengekang namun hari yang membebaskan, dimana hari Sabat dinyatakan kepada bangsa Israel yang baru keluar dari perbudakan di Mesir, yaitu dari bangsa yang tidak pernah mengenal istirahat sama sekali menjadi bangsa yang dapat menikmati istirahat sekarang (Ul 5:12-15). Pertanyaan bagi kita sekarang adalah, apakah kita pun terkadang juga terlalu berkutat dengan pertanyaan ‘mana yang Kristen sungguhan dan mana yang bukan’, sampai-sampai kita mengabaikan apa esensi dari kekristenan itu sendiri? (SH)