KASIH DAN HAJARAN
Anda pernah baca ayat ini: “TUHAN menghajar orang yang dikasihiNya. IA menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak” (Ibrani 12:5-7) Bukankah ayat ini memiliki kebenaran yang luar biasa.
1. Hajaran Dari Kasih Bukanlah Kebencian dan Penyiksaan.
Ayat ini sangat bertolak belakang dengan pemahaman kita atau perilaku kita pada umumnya yaitu bahwa kita tidak pernah menghajar, menegur, memarahi atau menyesah anak atau orang-orang yang kita sayangi. Dalam konsep kita, sikap sayang berarti mengabulkan semua keinginannya dan tidak tega membuatnya menangis. Sikap sayang berarti membelai-belai rambutnya, memujinya, menyanjung-nyanjungnya. Semakin kita sayang semakin kita menuruti segala kehendaknya. Singkat kata sayang selalu berarti memanjakannya. Bukankah begitu? Konsep Tuhan justru berbeda. Kasih tidak selalu identik dengan yang manis-manis dan menyenangkan, tetapi kasih juga bisa menegur, mengritik, menasehati bahkan memberi hajaran. Jika kita mengasihi seseorang tetapi tidak pernah mengritik, menegur dan menasehati dengan keras, itu bukan kasih murni tetapi itu kasih klise, kasih sepuhan. Seperti emas sepuhan bukanlah emas asli. Kasih sepuhan tidak memiliki nilai edukasi apa-apa dan tidak mendatangkan manfaat apa-apa bagi kedua belah pihak: orang yang dikasihi maupun orang yang mengasihi. Jangan kuatir, Tuhan mengajar kita bahwa teguran, kritikan, hajaran yang berasal dari kasih adalah teguran, kritikan dan hajaran yang berguna untuk memperbaiki kelakuan yang salah dan membangun perilaku yang benar. Kita harus selalu hati-hati dan tidak berdosa kepada Tuhan. Teguran atau kritikan yang datang dari kasih amat berbeda dengan teguran atau kritikan yang datang dari dendam. Jika datang dari kasih murni maka teguran atau kritikan akan membuat kita lebih dekat dan bisa menjadi sahabat. Itulah contoh yang Tuhan berikan untuk kita lakukan.
2. Tuhan Mengajar Kita Berjuang Lewat Berbagai Kesulitan.
Dari kecil kita sudah dilatih untuk berjuang, mengatasi bahkan mengalahkan segala rintangan hidup yang ada. Istilah keren-nya adalah kita diajar untuk survive. Ketika kita jatuh, kita sudah diajar oleh orang tua kita: “Ayo, bangun, jangan cengeng!” Waktu kita nangis, kita diajar untuk tidak manja dengan nangis berlebihan. Waktu kita gagal, kita diomelin agar tidak ulang lagi kegagalan itu. Sisi negatifnya, kita jadi tertekan, stress, takut dll. Tetapi, sisi positifnya, kita jadi berjuang dan bertekad untuk tidak ulang kegagalan itu lagi. Akhirnya kita jadi berhasil. Bukankah kesuksesan lebih banyak datang dari berbagai kegagalan, kesulitan, tantangan dan penderitaan. Jika kegagalan dievaluasi dan diambil hikmatnya maka kegagalan bisa menjadi guru sukses kita. Tetapi jika kegagalan kita lihat sebagai bencana dan nasib buruk maka hidup kita akan terus terpuruk.
Kita harus bersyukur atas omelan, pukulan dan bahkan kata-kata yang kurang `sedap` dari orang tua kita atau dari teman-teman sekitar kita. Hajaran dan sesahan Tuhan adalah cambuk yang mengeluarkan jiwa survive kita.
Simaklah kehidupan ini. Ada orang yang dikritik langsung mengundurkan diri. Namun, sebaliknya ada orang yang semakin dikritik semakin bekerja keras untuk membuktikan bahwa kritikan itu salah. Jadi, kritikan ternyata bisa menjadi pemicu perjuangan. Tuhan menghajar kita bukan untuk menjatuhkan kita tetapi untuk membuat kita lebih berjuang, lebih tegar dan lebih kuat. Hidup ini memerlukan jiwa yang kuat, pribadi yang teguh. Jangan menjadi manusia cengeng dan mudah sekali menyerah dan kecewa. (J.Th)