MATI LAMPU
Tanggal 4 Agustus yang lalu, beberapa wilayah pulau Jawa (Jabodetabek, Jawa Barat dan Jawa Tengah) dilanda mati lampu alias pemadaman listrik massal. Awalnya dimulai karena kerusakan jaringan transmisi saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) di Saguling, Cibinong. Lalu merambat ke Depok dan Bekasi. Akibatnya, berjam-jam masyarakat di daerah-daerah tersebut terkena dampak dari ketidaktersediaan jaringan listrik dan juga terhambatnya jaringan sinyal internet. Bagi masyarakat yang hidup di kota besar, listrik dan internet sudah layaknya seperti makanan dan minuman sehari-hari. Tanpanya, kehidupan menjadi sangat terhambat, bahkan lumpuh dalam kegelapan.
Alkitab juga menceritakan persitiwa ‘mati lampu’ yang luas. Kali ini bukan hanya beberapa wilayah dalam satu pulau, tetapi satu negara, yaitu Mesir. Sebenarnya, mungkin tidak sepenuhnya bisa disebut mati lampu karena waktu itu belum ditemukan lampu pijar, tetapi bisa disebut sebagai kegelapan, tanpa cahaya. Ini lebih mengerikan daripada mati lampu biasa. Kitab Keluaran mencatat ini sebagai tulah kesembilan yang TUHAN timpakan kepada bangsa Mesir yang congkak di hadapan-Nya. Durasinya pun bukan hanya beberapa jam, melainkan tiga hari (Kel.10:22). Sedemikian gelapnya orang-orang Mesir bahkan tidak dapat bangun dan melihat temannya sendiri (ay.23). Uniknya, terang selalu ada dalam tempat kediaman orang Israel (ay.23b). Kegelapan massal di Mesir bukan sekadar hukuman dari TUHAN, tetapi merupakan cemoohan bagi dewa Mesir, khususnya dewa matahari (atau dewa Ra) yang dipercaya merupakan dewa tertinggi Mesir. Allah Israel menantang dewa tertinggi Mesir dan Ra tidak berkutik dihadapan-Nya. Selain itu, ini juga tamparan keras pada wajah Firaun karena siapa pun yang tinggal di Mesir tahu bahwa Firaun disembah dan dipercaya sebagai titisan dewa Ra. Firaun mati kutu dihadapan Yahweh.
Tetapi kegelapan yang lebih dalam bukan yang terjadi di luar, melainkan yang terjadi di dalam; kegelapan di dalam pikiran, di dalam hati manusia. Itulah yang membuat Firaun (dan seluruh Mesir) gelap karena hati dan pikiran mereka gelap. TUHAN telah menunjukkan bahwa dewa sesembahan mereka tidak ada artinya di hadapan-Nya. Tetapi kegelapan di dalam hati membuat mereka tidak dapat menyambut TUHAN dan firman-Nya.
Kita yang hidup di Singapura dapat dikatakan tidak pernah mengalami rasanya mati lampu. Kita hidup dalam negara yang terang-benderang dengan jaringan internet super cepat dan ketersediaan data yang melimpah. Kita selalu hidup dalam cahaya. Tetapi yang menjadi pertanyaan ialah apakah kita juga memiliki terang dalam hati dan pikiran? Sayangnya, sebagian orang memelihara kegelapan dalam hati dan pikirannya. Kegelapan dalam keserakahan; sikap hidup yang sulit untuk mengerti apa artinya cahaya rasa syukur dan rasa cukup. Kegelapan dalam dosa seksualitas (baik dalam tindakan maupun pikiran); Kegelapan dalam ketidakhadiran kita dalam keluarga. Terang kasih dan pengampunan yang redup karena kegelapan kepahitan dan konflik yang dipelihara. Kegelapan dalam dusta karena keinginan kita untuk tampil selalu sempurna dan dipuja-puji; kita mengabaikan cahaya integritas, kejujuran dan kesederhanaan. Bukan tanpa alasan Allah memulai penciptaan dengan berkata: “Jadilah terang” (Kej.1:3)! Pertanyaannya, apakah Anda mengijinkan Ia menghadirkan terang dalam hidup Anda, keluarga, pekerjaan dan pelayanan Anda? Mari hidup dalam terang supaya kita tidak mengalami ‘mati lampu’ di dalam hati dan pikiran. Tuhan memberkati (YJ).