MURKA ALLAH
Berbicara tentang murka Allah bukan hal yang mudah dalam konteks kehidupan yang sangat menitikberatkan pengampunan, toleransi, relativisme moral, bahkan pluralisme kepercayaan, seperti yang kita hidupi dalam abad ini. Tetapi murka Allah adalah tema yang diajarkan oleh Alkitab dan karenanya kita perlu menerima pengajaran ini dengan segala kebenarannya.
Dalam Roma pasal 1, Rasul Paulus membuka perikop ayat 18-32 dengan menyatakan bahwa murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Murka dalam bagian ini tidak merujuk kepada sebuah emosi kemarahan yang tidak terkendali. Sebaliknya, murka di sini merujuk kepada sebuah emosi kudus dari Allah yang tidak dapat berkompromi dengan dosa. Sama seperti terang tidak dapat menerima kegelapan, demikian halnya Allah tidak dapat menerima dosa. Adalah benar Allah mengasihi manusia yang berdosa, bahkan mengasihi dengan begitu besar (Yoh. 3:16), tetapi Allah tidak pernah mengasihi dan mentolerir dosa. Dengan demikian, murka Allah ialah perwujudan kekudusan-Nya.
Murka Allah juga merupakan perwujudan dari keadilan-Nya. Ketika Allah mengampuni orang berdosa, Ia tetap harus menghukum dosa yang begitu besar yang telah dilakukan orang tersebut. Inilah yang dibantah oleh William P. Young dalam bukunya, “The Shack” yang kemudian menjadi film. Di sana digambarkan bahwa jika seorang ayah yang penuh kasih di dunia ini saja tidak mungkin mengirimkan salah satu anaknya untuk dihukum ke neraka, apalagi Bapa di sorga. Ia pasti akan mengirim semua orang berdosa ke dalam sorga. Terlepas dari keindahan dan kenyamanannya, pengajaran Young dalam hal ini sangat keliru. Dosa selalu menuntut korban; ia tidak pernah gratis! Pengampunan bukanlah meniadakan dosa. Pengampunan adalah tidak menjatuhkan tuntutan hukuman dosa kepada pelaku; sementara akibat dosa itu tetap ada. Itulah sebabnya, ketika Allah mengampuni kita, Ia tetap harus menyatakan keadilan-Nya dengan cara mengukum dosa di atas kayu salib. Dalam pengampunan-Nya, Ia tidak menjatuhkan tuntutan dosa itu ke atas kita, namun ke atas Dia Yang Tersalib. Salib adalah tempat di mana keadilan murka Allah dinyatakan karena kasih-Nya yang teramat dalam bagi manusia berdosa.
Yang terakhir, murka Allah juga menyatakan kasih-Nya. Banyak tokoh ateis mengkritik iman Kristen bahwa Allah tidak peduli dengan segala penderitaan dalam dunia ini. Sebenarnya sebaliknya, Ia sangat peduli. Begitu dalam kepedulian Allah sampai-sampai Ia mengirimkan dan mengorbankan Anak satu-satu-Nya, yang amat dikasihi-Nya untuk menyelesaikan masalah dosa. Jika ada bencana, umumnya orang akan rela mengirimkan bantuan dalam bentuk barang, dana, atau jasa, misalnya datang sebagai tim ahli. Tapi sangat jarang ada orang yang mengirimkan anaknya, apalagi anak tunggal ke daerah bencana, dengan tujuan untuk mati di sana. Tetapi itulah yang persis dilakukan oleh Allah Bapa. Ia rela mengorbankan Anak semata wayang yang dikasihi-Nya untuk menanggung akibat dosa, menyelamatkan manusia, dan mengakhiri substansi dosa dalam penghakiman terakhir nanti. Ini adalah kepedulian dan kasih terbesar yang Ia nyatakan bagi manusia (YJ).