NATAL
(image dari Crosswalk.com)
Kisah-kisah dan perayaan Natal seringkali digambarkan dengan imajeri yang sentimentil. Natal adalah waktu untuk berlibur dan berkumpul bersama keluarga. Lagu-lagu yang membawa kita hanyut tenggelam dalam melodinya yang mengalun syahdu. Tidak ada yang salah dengan itu, namun yang menarik adalah bagaimana narasi kelahiran Yesus di dalam Injil tidak sepenuhnya pas dengan imajeri sentimentil semacam itu. Yesus lahir di tengah ancaman yang melanda keluarga dan diriNya sendiri. Ada Herodes yang merasa paranoid terhadap nubuat akan adanya seorang bayi yang berpotensi akan menggulingkan kekuasaannya suatu saat nanti. Bahkan, saking paranoidnya Herodes sampai-sampai ia memerintahkan untuk membunuh semua anak di Betlehem yang berusia dua tahun ke bawah. Ancaman inilah yang memaksa Yusuf dan Maria untuk mengungsi ke Mesir untuk menyelamatkan keluarga mereka. Inilah konteks Natal, bukan sekedar ‘malam kudus, sunyi senyap’, namun, seperti nyanyian Maria, momen dimana Allah “menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah.” (Luk 1:52) Natal adalah Revolusi, lahirnya kerajaan Allah di muka bumi.
Konteks Natal semacam ini mungkin asing bagi kita yang tinggal di Singapura. Tantangan yang kita hadapi adalah tantangan yang lain, yaitu komersialisasi dan pendangkalan arti Natal. Namun konteks semacam ini masih berlaku bagi saudara-saudari kita di tempat lain. Di Cina, misalnya, pemerintah Cina baru-baru ini semakin meningkatkan represi terhadap pemeluk agama, termasuk di antaranya umat Kristiani, terutama bagi gereja-gereja ‘bawah tanah’, yaitu gereja-gereja yang tidak diakui secara resmi oleh pemerintah. Pada tanggal 09 Desember, polisi menangkap Pdt Wang Yi dan 100 orang anggota jemaatnya dari Early Rain Covenant Church, sebuah gereja yang secara terbuka mengakui keberadaannya dengan mengetahui resiko bahwa dengan demikian mereka bisa ditangkap oleh polisi kapan saja. Pdt Wang kemudian merilis surat yang memang sudah ia siapkan kalau-kalau ia ditangkap, menjelaskan bahwa hati nuraninya menuntutnya untuk memiliki sikap faithful disobedience (terhadap negara) sebagai wujud pendiriannya terhadap represi pemerintah. Atau, lebih dekat dengan kita, di Indonesia sendiri, dimana efek tragedi bom malam Natal tahun 2000 masih membekas sampai sekarang, dimana pengamanan terhadap gereja akan semakin ketat setiap kali perayaan Natal tiba. Inilah Natal, yaitu momen lahirnya Sang Raja, yang menjadikan ‘raja-raja’ dunia akan merasa terancam oleh kelahiranNya. Selamat Natal dan merayakan lahirnya Sang Raja! (SH)