OUTSOURCE SAJA?
(image dari: www.copypress.com)
Saya masih ingat dulu ketika saya masih duduk ke bangku kelas dasar, orangtua dan anggota-anggota keluarga lainnya bergantian mendampingi untuk mengajar. Mulai dari menulis, membaca, mengerjakan pekerjaan rumah dan memberikan disiplin alias menghukum jika saya mulai malas. Bagi mereka, pendidikan untuk anak-anak (baik yang bersifat akademis mau pun moral) adalah hak dan tanggung jawab anggota keluarga. Tetapi mungkin hal ini tidak selalu demikian di Singapura saat ini.
Dimanika hidup yang cepat, jam kerja ayah dan ibu yang panjang di kantor atau tempat lain, serta tingginya tuntutan dan persaingan dunia kerja membuat orangtua harus lebih fokus pada pekerjaan atau usahanya. Selain itu, materi belajar yang makin dalam nilai akademisnya seringkali membuat orangtua kewalahan untuk mendampingi anak yang “bermanja-manja atau ngeyel” ketika sedang diajari, sementara tugas kantor menumpuk. Tidak sedikit orangtua yang mempertimbangkan untuk outsource tenaga pengajar. Tuition menjadi salah satu solusi yang menolong banyak keluarga. Tetapi perputarannya tidak sesederhana itu. Bagi penduduk lokal, biaya pendidikan memang relatif murah, tetapi tidak dengan biaya tuition. Ini mendorong orangtua untuk lebih keras menafkahi keluarga demi pendidikan anak yang lebih baik. Outsource merupakan pilihan bagi banyak keluarga. Ini hanya salah satu contoh fenomena outsourcing dalam dunia pendidikan.
Outsource juga banyak terjadi dalam hal-hal yang lain: membersihkan rumah, merawat orang tua yang lanjut usia, mengantar jemput anak, bahkan menitipkan anak selama orang tua sedang bekerja. Perusahaan-perusahaan juga banyak yang menggunakan tenaga outsource, misalnya untuk cleaning service dan sebagainya. Gereja juga melakukan hal yang sama, misalnya dalam pernikahan, caterer dari tenaga outsource, bahkan ada beberapa gereja di daerah yang agak kecil di Indonesia, yang kesulitan tenaga pengerja meng-outsource dari sinode yang menaungi gereja tersebut. Fenomena ini juga merambah sampai kepada pendidikan iman.
Tidak jarang, baik di Indonesia mau pun di Singapura, orang tua berpikir bahwa pendidikan iman anak adalah tugas dan tanggung jawab pendeta atau guru-guru sekolah minggu. Dalam konteks yang demikian, orang tua meng-outsource gereja sebagai “tenaga ahli” untuk mendidik anak-anak mereka dalam iman. Ini bukan hanya terjadi dalam tataran sekolah minggu, seringkali sampai tingkat remaja. Hal ini seharusnya tidak demikian.
Pendidikan iman anak adalah tugas dan tanggung jawab orang tua. Gereja harus menjadi partner atau sahabat yang baik bagi keluarga. Dengan demikian, tugas gereja bukan mengambil alih tugas orang tua, tetapi memberdayakan dan melatih/memperlengkapi orang tua agar dapat melaksanakan panggilan mulia ini. Tugas orangtua adalah bekerja sama dengan gereja secara aktif untuk membawa anak-anak kita kepada Tuhan. Sudahkah kita melakukannya dengan baik? (yj)