P E S T A
Pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia memiliki julukan yang cukup unik, yaitu sebagai ‘pesta demokrasi’. Julukan ini diberikan oleh Presiden Soeharto dalam sebuah pidatonya menyambut Pemilu 1982, “Pemilu harus dirasakan sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan mencekam.” Tentu saja, seperti yang kita tahu bersama, Pemilu di era Orde Baru memiliki masalahnya tersendiri, namun setelah itu memang julukan ini lekat dengan Pemilu di Indonesia.
Yang mungkin patut kita sayangkan adalah betapa julukan ini mungkin tidak pas lagi disematkan pada Pemilu di Indonesia saat ini. Alih-alih menjadi perhelatan yang menggembirakan, yang terjadi adalah suasana yang tegang dan panas, terutama di media sosial dengan berbagai misinformasi dan hoaks yang bersliweran sana-sini. Alih-alih menjadi kontes ide yang sehat, yang terjadi adalah suasana seperti perang. Beberapa pasangan suami-istri bahkan memutuskan untuk bercerai karena perbedaan pilihan politik! Dalam hal ini, elit politik dan tim kampanyenya memang terkadang tidak membantu dan malah memperkeruh polarisasi yang ada, dimana retorika yang digunakan adalah metafora apokaliptik layaknya perang akhir zaman dan kontestasi yang ada diibaratkan sebagai pertarungan hidup dan mati, contohnya, jika kubu lawan yang menang maka Indonesia akan hancur. Dengan kata lain, Pemilu ditempatkan sebagai hal yang paling utama (ultimate) ketimbang pada posisi yang sepantasnya, yaitu hal yang memang penting namun bukan hal yang ultimate, berhubung partisipasi politik warga tidak berhenti dan tidak terbatas pada Pemilu saja, namun juga (atau, terlebih lagi) dalam keseharian kita sebagai bagian dari masyarakat.
Karena itu, marilah kita menempatkan Pemilu ini pada posisi yang sewajarnya dan tidak terjebak dengan narasi yang berlebihan. Identitas gereja sebagai tubuh Kristus adalah hakiki dan sepatutnya tidak perlu terganggu hanya karena anggota-anggotanya memiliki pilihan politik yang berbeda. Identitas utama kita adalah ‘di dalam Kristus Yesus’ (bdk. Gal 3:28), dan bukanlah apakah kita warga negara Indonesia atau Singapura atau negara apapun itu, apakah kita memilih calon A atau B, apakah kita pendukung partai X atau Y, dst. Akhir kata, bagi rekan-rekan jemaat yang WNI dan yang akan mencoblos di KBRI pada hari ini, selamat memilih dan berambil bagian dalam pesta demokrasi ini! (SH)