PASAR TRADISIONAL DAN GEREJA
by GPBB ·
Beberapa waktu lalu saya mengunjungi beberapa Ramadan bazaars around Singapore. Katanya, ”There's nothing like enjoying your time at a pasar malam in Singapore for a dose of nostalgia.” Saya setuju dengan perkataan ini.
Kehadiran pasar tradisional -di samping pasar modern- sebagai tempat pemenuhan kebutuhan hidup dan tukar menukar jasa dan barang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Di pasar, penjual dan pembeli akan saling berinteraksi, bersosial, bertukar informasi, tawar menawar dan beragam aktifitas lainnya. Pasar malam atau pasar pagi di Singapura adalah pasar tradisional yang banyak bisa ditemui di setiap areal komunitas dengan keunikan masing-masing. Keunikan itu telah menjadi “land mark” masing-masing areal. Pengunjung pasar juga beraneka ragam, datang dari berbagai kalangan dan dengan tujuan relatif berbeda.
Dibandingkan pertama saya tinggal di Singapura pada 2001 dengan saat ini maka nampak jelas terlihat perubahan besar pada pasar tradisional. Sekarang lebih bersih, tertata rapi, tidak bau dll. Pasar tradisionil di Singapura telah berubah untuk menyesuaikan diri dengan jaman. Tanpa perubahan, lambat laun pasar tradisionil akan tinggal hanya sebagai kenangan.
Dari cerita di atas, apa yang bisa dipelajari? Yaitu “perubahan.” Tidak ada yang bisa awet dan bertahan lama tanpa perubahan. Cerita yang sama juga bisa terjadi di banyak bidang kehidupan yang lain, termasuk gereja. Jaman berubah, kebutuhan berubah, generasi berubah, gereja juga harus berubah untuk menyesuaikan diri. Bukan berarti gereja harus “menjual diri” dan kemudian membuang prinsip-prinsip kebenaran cuma demi menyesuaikan diri dengan jaman (kita tahu banyak gereja sudah meninggalkan kebenaran karena takut ditinggalkan oleh jemaatnya) Tetapi, gereja harus berubah dalam penataan kebaktian, manajemennya, program dan aktifitasnya, metode penggalian dan penyampaian firman Tuhan, pendekatan dan penggembalaan terhadap umatnya dll. Gereja harus berani memakai hal-hal modern untuk melayani umatnya menyampaikan kebenaran. Jangan membawa jaman kini ke jaman puluhan ribu tahun lalu. Prinsip dan nilai kebenaran tidak berubah, yang berubah adalah cara penyajiannya agar enak dan asyik. Bukankah banyak generasi Z dan generasi Alpha sudah berteriak bahwa gereja sekarang sudah tidak enak dan tidak asyik. Bagaimana kebenaran bisa “mendarat” di pikiran dan hati mereka jika gereja sudah tidak enak dan tidak asyik.
Gereja harus berani mereformasi dirinya terus menerus agar tetap bisa menjawab tantangan jamannya. Ecclesia reformata, semper reformanda,' ('the church reformed, always reforming') Gereja harus berubah, jika gereja takut berubah maka nasib gereja juga akan sama dengan pasar tradisional yang tidak mau berubah. Cepat atau lambat akan ditinggalkan pelanggannya (baca: umatnya) seperti banyak pasar tradisional di Indonesia. Bagaimana dengan GPBB? (J.Th)
Image courtesy of travelsingapura.com