PULANG KAMPUNG
Menjelang Idul Fitri kita akan banyak menyaksikan jutaan manusia berbondong bondong melakukan perjalanan jauh menuju ke kampung halamannya masing-masing. Berbagai moda transportasi digunakan, mulai dari pesawat terbang sampai bajaj. Tidak pria atau wanita, tua atau muda, semua berdesak-desakkan, berebut tiket dan tempat duduk. Seorang wanita paruh baya dengan sigap menyingsingkan rok bajunya dan melompat naik ke kereta api melalui jendela kereta api. Ribuan massa tidur bermalam di stasiun kereta, bandara, pelabuhan dan terminal hanya untuk mendapatkan tiket mudik. Sebuah fenomena yang telah menjadi tradisi setiap tahun di Indonesia.
Aneh tapi nyata, pada perjuangan merebut tiket, pada perjalanan jauh yang ditempuh dan badan yang menjadi super lelah, tetapi tidak tersungging sedikitpun di wajah mereka rona kekesalan, keletihan dan penyesalan. Justru semua itu hilang ketika kaki sudah berjejak di tanah kampung halaman. Perjuangan maha berat yang berbuah manis kesukacitaan dan berkumpul bersama sanak saudara, tetangga dan semua handai taulan.
Secara ilmu sosial, balik ke tempat asal merupakan kerinduan bertemu dengan jati diri kemanusiaan yang sebenarnya. Perjuangan di luar kampung halaman selama bertahun-tahun telah menyebabkan keterpisahan dengan sanak famili dan menjadi manusia di luar jati diri yang sebenarnya. Hidup di kota besar cuma dengan satu tekad: DAPAT UANG! Dan rela hanyut dalam gaya hidup individualis kota. Demi uang, tidak jarang manusia telah menjadi budak dari kebutuhan, kacung dari system dan lebih mamakai otot, sikut, kenekadan dalam kancah perebutan uang ketimbang nurani kemanusiaan dan iman. Semua itu telah membuat manusia menjadi kering kasih, miskin persahabatan, krisis persaudaraan, saling menerkam dan akhirnya punahnya jati diri iman dan kemanusiaan manusia.
Mazmur 42:4, “Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah gulana, bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan sorak sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan.” Mazmur ini secara sederhana ajarkan bahwa ditengah kepadatan manusia dengan segala perjuangan hidupnya masing-masing, tetaplah bertahan dalam jati diri umat Tuhan.
Kembali ke topik Pulang Kampung. Kenapa mudik? Karena di kampung halamanlah mereka menemukan kembali kasih, keceriaan, keintiman persaudaraan, ketulusan, semangat gotong royong dan tentu saja kesahajaan sebagai manusia. Ternyata manusia menemukan kemanusiaannya di kampung halaman bukan di kota, apalagi kota besar. Itulah sebabnya, tidak heran jutaan manusia rela melakukan sebuah perjalanan berat ke kampung halaman, karena mereka merindukan suasana kemanusiaan sejati. Manusia ingin kembali ke hakekatnya sebagai manusia, dan mereka temukan itu di habitat aslinya: kampung halaman.
Pertanyaan buat kita: Bisakah suasana kampung halaman tercipta di kota? Mungkin sulit. Tetapi rasanya lebih mudah menciptakan suasana itu di hati kita, di hidup kita, di keluarga kita dan bahkan di gereja kita. Tahukah Anda bahwa peristiwa Natal saja diawali dengan perjalanan mudik Yusuf dan Maria. Yesus Kristus lahir bukan di kota tetapi di kampung. Itu sebabnya, dimanapun kita berada, ciptakan suasana kampung halaman. Bagi yang mau mudik, saya ucapkan Selamat Mudik. Semoga kembali menjadi manusia seutuhnya. (J.Th)