Reformasi 500
Tahun ini kita memperingati 500 tahun Reformasi Protestan, yang awalnya secara simbolik ditandai dengan peristiwa pemakuan 95 tesis oleh Martin Luther di pintu gereja Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517 yang menyatakan keberatannya terhadap praktek penjualan surat pengampunan dosa (indugensi) di gereja saat itu. Luther bukanlah orang pertama yang berusaha untuk mereformasi gereja dari dalam saat itu, berhubung sudah ada riak-riak lain sebelumnya; perbedaannya adalah apa yang dilakukannya ini akan memberikan momentum yang tak terhentikan lagi.
Nama ‘Protestan’ sendiri diambil dari pertemuan pangeran-pangeran di Kekaisaran Romawi Suci (Holy Roman Empire) di Speyer pada tahun 1529, yang menghapuskan resolusi pertemuan sebelumnya di tahun 1526 yang memberikan kebebasan bagi setiap pangeran untuk mengadopsi baik ajaran Luther ataupun gereja Katolik Roma. Pertemuan di tahun 1529 berusaha untuk menganulir keputusan tiga tahun sebelumnya dan menetapkan bahwa setiap pangeran wajib mengusung ajaran gereja Katolik Roma di setiap wilayahnya, namun lima pangeran mengajukan protes secara resmi terhadap keputusan yang baru dan bersikukuh untuk tetap mengadopsi ajaran Luther di wilayah mereka masing-masing. Karena itulah sampai saat ini kelompok yang mengikuti ajaran Luther dan reformator-reformator yang lain disebut dengan kelompok Protestan.
Luther dan reformator lainnya sendiri saat itu hidup di era Renaisans, dimana salah satu ruh utama era tersebut adalah ad fontes, yaitu, kembali ke sumbernya (secara literal, kembali ke mata airnya; fontes = fountain), dimana dalam humanisme Renaisans hal ini berarti bangkitnya minat kepada peninggalan dan pencapaian peradaban Yunani dan Romawi kuno. Dalam studi Alkitab sendiri, hal ini berarti untuk kembali kepada teks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam bahasa Ibrani dan Yunani, bukan hanya sampai pada teks dalam bahasa Latin (Vulgata) yang lebih dominan saat itu.
Salah satu semboyan utama para reformator adalah eccelesia reformata semper reformanda secundum verbum dei, yaitu, gereja yang telah diperbaharui akan senantiasa memperbaharui dirinya sesuai dengan Firman Tuhan. Karena itu, poin utama dari reformasi bukanlah sekedar untuk meniru segala hal yang dilakukan oleh para reformator ini. Akan menjadi sangat ironis jika kita malah menjadikan segala hal yang mereka lakukan sebagai tradisi yang sakral dan tidak dapat berubah. Poin utama dari reformasi adalah supaya kita selalu senantiasa memperbaharui diri kita dan mencoba mendengarkan apa isi hati Tuhan bagi gerejaNya di tempat dan waktu ini. (SH)