Samaria
Kaum Samaria adalah kaum yang hidup di Israel bagian utara. Mereka meyakini bahwa mereka adalah keturunan dari sepuluh suku Israel Utara, yang tetap tinggal di tanah Israel setelah kerajaan Asyur menghancurkan kerajaan Israel/Samaria pada tahun 722 SM. Kaum Samaria meyakini bahwa merekalah yang menjaga tradisi Musa yang sejati, bukan kaum Yahudi, yang mereka anggap telah mengubah tradisi Musa ketika kaum Yahudi berada di dalam pembuangan di Babel. Kitab Suci kaum Samaria hanya mencakup Kejadian sampai Ulangan, dan mereka meyakini bahwa tempat menyembah Allah adalah di gunung Gerizim (kira-kira 70 km utara Yerusalem), bukan Yerusalem (Yoh 4:20). Perbedaan inilah yang mengakibatkan ketegangan antara kaum Samaria dengan kaum Yahudi (bdk. Yoh 4:9) dimana masing-masing kelompok mengklaim bahwa kelompok merekalah umat Allah yang sejati, bukan kelompok yang satu lagi.
Hal ini mengingatkan saya pada lelucon berikut: “Alkisah, suatu hari ada seseorang yang berdiri di tepi jembatan yang tinggi dan ingin bunuh diri. Akupun berkata kepadanya, “Jangan lompat!” Ia pun menjawab, “Tidak ada seorang pun yang mengasihi saya.” Aku menjawab, “Allah mengasihimu. Apakah kamu percaya Tuhan?” Ia berkata, “Ya.” Aku berkata, “Aku juga! Apakah kamu Kristen atau Yahudi?” Ia menjawab, “Kristen.” Aku berkata, “Aku juga! Protestan atau Katolik?” Ia menjawab, “Protestan.” Aku berkata, “Aku juga! Denominasi apa?” Ia menjawab, “Baptis.” Aku berkata, “Aku juga! Baptis Utara atau Baptis Selatan?” Ia menjawab, “Baptis Utara.” Aku berkata, “Aku juga! Baptis Utara Daerah Danau atau Baptis Utara Daerah Kota?” Ia menjawab, “Baptis Utara Daerah Danau.” Aku berkata, “Aku juga! Baptis Utara Daerah Danau Konsili 1789 atau Baptis Utara Daerah Danau Konsili 1912?” Ia menjawab, “Baptis Utara Daerah Danau Konsili 1912.” Lalu aku berkata, “Enyahlah kau kafir!” Dan aku pun mendorongnya dari jembatan itu.” (Emo Philips)
Dengan kata lain, awalnya orang tersebut ingin menolong orang yang ingin bunuh diri ini karena ia melihat orang ini sebagai sesamanya manusia, namun di akhir kisah tersebut, ia tersebut malah mendorong orang ini setelah ia menemukan bahwa orang ini berasal dari gereja yang berbeda dengan dirinya! Tentunya, lelucon ini hanya sebuah hiperbola, namun poin dari lelucon ini adalah betapa kita justru sering bertengkar bukan dengan yang berbeda total namun dengan yang sebenarnya mirip dengan kita. Hal tersebut dapat kita temui di sepanjang sejarah gereja, dimana perpecahan demi perpecahan terjadi sebenarnya karena hal yang remeh semata. Karena itu, marilah kita menyikapi perbedaan di gereja dari perspektif yang lebih luas. Perbedaan akan selalu ada, namun jangan biarkan perbedaan di hal-hal yang non-esensial mengaburkan kesatuan kita yang hakiki di dalam Kristus. (SH)