Satu
Minggu ini kita beribadah bersama dengan jemaat berbahasa Inggris di gereja kita. Mungkin ada di antara kita yang merasa tidak nyaman ketika mengikuti ibadah bersama ini, baik itu karena mesti menggunakan bahasa Inggris atau karena mesti beribadah dengan orang yang asing, yang tidak kita kenal, dengan cara yang sedikit berbeda dari biasanya.
Ketidaknyamanan ketika berjumpa dengan yang asing sangatlah manusiawi. Pergumulan tersebut menjadi pokok permasalahan utama gereja mula-mula, yaitu ketika jemaat yang berlatarbelakang Yahudi mesti membuka dirinya terhadap orang-orang non-Yahudi. Beberapa merasa kebingungan terhadap realita yang baru ini. Bahkan, Paulus mencatat, Petrus sendiri sempat tidak konsisten dalam hal ini. Awalnya ia bersedia makan bersama dengan jemaat non-Yahudi, namun ketika jemaat Yahudi yang tradisional datang, ia mengundurkan diri dari meja tersebut (Gal 2:11-12). Tidak mudah untuk menelusuri realita yang baru ini, dimana tidak ada lagi tembok antara kaum Yahudi dengan non-Yahudi, namun pada akhirnya gereja mula-mula berhasil melakukannya.
Ibadah bersama dengan jemaat berbahasa Inggris di gereja kita adalah sebuah titik awal dari perjalanan kita bersama sebagai gereja Presbyterian di Bukit Batok. Jemaat berbahasa Indonesia dengan jemaat berbahasa Inggris bukanlah dua jemaat yang berbeda, namun satu jemaat yang sama. Yang membedakan hanyalah bahasa ibadahnya. Marilah kita membiasakan diri melihat jemaat berbahasa Inggris bukan sebagai ‘mereka’, namun sebagai ‘kita’. Setiap minggunya kita mengakui bahwa kita percaya akan gereja yang kudus dan am. Am berarti universal atau esa. Keesaan gereja tidak hanya dilihat dari perspektif global, namun juga dari perspektif lokal. Jalinan dan relasi yang erat dengan jemaat berbahasa Inggris adalah langkah awal yang konkrit sebagai wujud nyata pengakuan iman akan gereja yang esa ini. (SH)