SEBUAH PIKIRAN YANG MULIA
Seringkali kita mengevaluasi kehidupan dengan kalimat-kalimat: “Andai saja hidup saya lebih baik daripada sekarang ini.” Atau “Jika saja kolega saya lebih mendukung, pasti saya akan lebih berhasil.” Sebagai manusia kita cenderung melihat dari luar ke dalam. Kita meletakkan faktor penentu perubahan pada kondisi di luar diri. Ketika kondisi di luar diri menjadi baik, baru kita akan ikut menjadi baik. Tidak demikian menurut Tuhan.
Perspektif Allah ialah melihat dari dalam ke luar. Tidak akan ada yang benar-benar berubah sampai pikiran kita berubah. Tidak heran banyak orang yang merasa sulit bersyukur sekalipun hidupnya sudah makin baik. Atau ada juga orang yang pandangan hidupnya dikuasai oleh hal-hal yang negatif sekalipun sudah banyak perubahan positif yang ia alami dalam hidup. Ini disebabkan karena sekalipun kehidupan di sekelilingnya mengalami perubahan yang baik, cara pandangnya sendiri tidak pernah berubah. Sebaliknya, ada orang yang makin bersyukur dan memandang hidup dengan positif sehingga kinerja meningkat bukan karena situasi hidup membaik, tetapi karena perspektif yang berubah. Transformasi adalah buah manis dari sebuah perubahan cara pandang. Allah lebih tertarik untuk mengubah pola pikir kita daripada situasi hidup kita. Tidak heran rasul Paulus menegaskan: “berubahlah oleh pembaharuan budimu.” Ini yang menjadi poin Buchanan tentang Sabat.
Buchanan mengingatkan bahwa kita tidak mengalami Sabat yang merestorasi jiwa karena pikiran kita tidak berubah. Sabat bukan semata-mata masalah hari, tetapi masalah sikap hati dan pikiran. Sebelum kita dapat memelihara hari Sabat, kita harus mengkultivasi sebuah hati Sabat (a Sabbath heart). Hati Sabat mengkhususkan dan menguduskan hari Sabat. Akar kata Ibrani untuk kata “menguduskan” berarti “to betroth” atau “berkomitmen terhadap sebuah pernikahan.” Ini mengingatkan kita pada Sabat pertama. Allah membawa kepada Adam berbagai makhluk hidup untuk mempertajam kesadarannya bahwa hanya Hawa pasangan yang sepadan, yang kepadanya Adam berkomitmen. Demikian juga seharusnya dengan Sabat. Ketika kita menguduskan hari Sabat, kita masuk ke dalam perspektif yang baru. Allah mengundang kita masuk ke dalam Sabat untuk menyadari bahwa hanya Dialah Pencipta, Pemelihara, dan Pemenuh hati dan hidup kita. Kepada-Nya hati kita melekat. Hanya kepada-Nya hati kita berkomitmen seutuhnya.
Dalam bahasa Yunani, kronos merujuk kepada waktu yang terus berdetak dan berputar. Ia digambarkan sebagai dewa Yunani yang tidak pernah puas, bahkan setelah memakan anak-anaknya sendiri dan melahap segala yang ada. Sebaliknya, kairos dimengerti as gift, as opportunity, as season. It is time pregnant with purpose. Pikiran yang mulia memandang Sabat bukan sebagai kronos yang melahap dan menghabiskan tetapi sebagai kairos yang dikuduskan dan dikomitmenkan untuk Tuhan. Ia mampu melihat hal-hal demikian: to experience the sacred amidst the commonplace – to taste heaven in our daily bread, a new heaven and new earth in a mouthful of wine, joy in the ache of our muscles or the sweat of our brows (yj)