TELAT BIN TERLAMBAT
by GPBB · Published · Updated
Pernahkah Anda ketinggalan pesawat atau kereta api? Saya pernah. Begini ceritanya. Beberapa tahun yang lalu saya membeli tiket pesawat Air Asia Jakarta-Surabaya untuk penerbangan jam 12.15. Karena mendadak ada urusan jemaat saya baru berangkat dari rumah jam 11.15. Bisa Anda bayangkan betapa kalang-kabutnya saya. Mobil dipacu dengan kecepatan tinggi, di jalan tol selalu berpindah jalur, pandangan mata sering menoleh ke jam tangan. Suasana tegang amat terasa. Alhasil, saya tiba di depan konter check in pukul 12.05. Artinya, saya tiba di bandara 10 menit sebelum pesawat take off, padahal peraturannya minimal 1 jam sebelum berangkat sudah harus check in. Sang petugas dengan penuh heran memandang saya. “Kenapa pak? Macet ya? Maaf pak, konter sudah ditutup,” begitu jawab sang petugas. Saya langsung lemas dan tidak bisa berbuat apa-apa. Hangus sudah tiket itu. Karena sore harinya sudah ada jadwal pelayanan, maka terpaksa harus beli tiket lagi.
Intisari pengalaman di atas adalah pernahkah kita sekalang-kabut ketinggalan pesawat ketika waktu menunjukkan pukul 08:45 sementara Kebaktian Umum pukul 09:00 atau jam tangan kita menunjukkan pukul 10.45 sementara Kebaktian Umum 2 pukul 11:00. Apakah kita buru-buru pesan taxi atau Grab? Pernahkah kita setegang dan secemas ketinggalan pesawat ketika telat bin terlambat ke gereja. Hampir pasti kita tetap santai. Ternyata kita lebih hormat dan takut kepada pesawat ketimbang hormat dan takut kepada TUHAN. Pada kenyataannya, kita jauh lebih mempersiapkan diri ketika ingin “terbang” ketimbang ketika kita ingin masuk ke hadirat TUHAN.
Tahun 1994 ketika saya berkesempatan mengikuti Pastor Exchange Program antara GKI SW Jabar dengan Uniting Church in Australia, saya sempat mengunjungi kebaktian di salah satu gereja UCA di Melbourne. Saya sengaja meminta duduk di barisan paling belakang. Saya ingin mengamati bagaimana disiplin jemaatnya dalam hal tepat waktu kebaktian. Ketika jam kebaktian dimulai pukul 08.00, seketika itu juga pintu masuk ke ruang kebaktian utama dikunci. Saya pikir bagaimana dengan mereka yang terlambat. Karena pintu utama itu terdiri dari kaca sehingga saya bisa melihat apakah ada yang terlambat. Ternyata hanya satu orang saja yang terlambat dan ia harus masuk ke ruangan dengan CCTV. Jelas saya lihat orang yang telat itu bukan “bule”.
Beberapa kali saya menonton konser di Victoria Concert Hall, Singapura, begitu jam pertunjukkan dimulai, pintu langsung dikunci dan penonton langsung tenang. Bukan hanya pintu yang dikunci, mulut para hadirinpun dikunci.
Saya berandai-andai bin berkhayal, seandainya di GPBB tidak usahlah pintu gereja dikunci seketika jam kebaktian dimulai, karena semua jemaat disiplin datang tepat waktu dan penuh hormat sama seperti disiplin dan hormatnya kepada sebuah penerbangan atau pertunjukan konser. Jika toh ada yang telat itu karena situasi khusus bukan karena budaya. Entah kapan andai-andai ini menjadi kenyataan dan khayalan itu berbuah manis kenyataan. “Beribadahlah kepada TUHAN dengan takut dan ciumlah kaki-Nya dengan gemetar.” (Mazmur 2:11) (J.Th)
Photo by Andrea Piacquadio - Pexel