TUHAN MENANGIS DI HARI NATAL?
Koran Kompas tanggal 27 Desember 2008 memuat foto perayaan Natal di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur, sebuah penjara khusus untuk kaum perempuan. Sekitar 200 penghuni rutan dari total 1.424 orang berkumpul di aula yang hanya berukuran sekitar 50 M2. Aula sekecil itu tentu tidak mampu menampung orang sebanyak itu sehingga sebagian orang mengikuti perayaan di luar aula. Sang ketua panitia minta maaf karena keterbatasan aula. Ia berkata, ”Di sini kami harus bisa beraktifitas dengan berbagai keterbatasan.” Maka tepatlah tema ”Natal Dalam Keterbatasan” dipakai untuk perayaan itu.
Menyimak berbagai perayaan Natal di gereja-gereja di Indonesia dan dunia maka terlihat jelas perbandingan yang mencolok. Ada gereja yang merayakan Natal dibatasi oleh anggaran, sehingga tempat dan acaranyapun jadi terbatas. Bahkan ada gereja yang karena tidak ada anggaran terpaksa cuma kebaktian saja tanpa perayaan. Filosofi mereka adalah anggaran dulu baru acara. Tetapi ada gereja yang tidak dibatasi oleh anggaran. Filosofi mereka adalah acara dulu baru anggaran. Artinya anggaran berapapun akan disetujui. Dan ironisnya dalam kotbah-kotbah natalnya dikatakan bahwa natal harus sederhana. Natal jangan terjebak pada kemeriahan acara, jangan hanya menjalankan tradisi tanpa makna. Padahal, setelah kotbahnya selesai, acaranya meriah luar biasa dengan tata suara, tata cahaya, tata kostum, tata konsumsi dan tata-tata lainnya. Ada gereja yang tidak ada anggaran natal. Ada gereja yang anggarannya berkisar 5-10 juta, tetapi ada juga yang sampai setengah milyard lebih.
Ada satu gereja di Jakarta yang sebenarnya mampu merayakan natal dengan biaya berapapun, tetapi mereka tidak lakukan. Pada hari natal, mereka berbuat sesuatu untuk mereka yang hina dan kekurangan. Jika gereja tidak merayakan natal karena tidak ada biaya, rasanya kurang mulia. Lain halnya jika tidak merayakan natal padahal mampu merayakan natal dimanapun dan dengan anggaran berapapun.
Jika kita simak baik-baik, cuma Kristen yang merayakan hari besar keagamaannya dengan megah, `mewah` dan biaya tinggi. Agama-agama lain merayakan hari besar keagamaannya hanya dengan sembayang, sujud syukur dan melakukan aksi sosial. Rumah-rumah ibadah mereka juga tidak didekorasi dengan indah dan `wah`. Umat datang ke rumah ibadah, sembayang lalu mendengarkan kotbah. Setelah itu, selesai sudah `perayaan` itu. Fokus perayaannya adalah pada kotbahnya, walaupun panjang umat tetap menyimak dengan baik. Berbeda dengan Natal, perayaannya jauh lebih panjang daripada kotbahnya. Dalam keheranan kita bertanya, ”Kenapa ya orang-orang Kristen kalau merayakan natal boros amat?” Boros biaya, boros kertas, boros listrik, boros tenaga.
Pernahkah kita berpikir, ”Apakah Tuhan bahagia dan berkenan dengan cara-cara kita merayakan Natal. Jelas-jelas, Natal bukan perintah Tuhan, Paskah-lah yang Tuhan perintahkan. Jangan-jangan, Tuhan Yesus menangis setiap natal, sementara umatNya bersenang-senang dalam drama, tari, nyanyi-nyanyi, dansa-dansi, makan-minum dan hura-hura lainnya, lalu setelah usai panitia berkumpul dan berdoa berterima kasih kepada Tuhan karena Natalnya telah berjalan sukses. Walahualam (J. Theo)