Pemimpin Yang Ditolak
Dua bulan lagi, Indonesia akan mengadakan pemilihan umum legislatif untuk memilih anggota-anggota DPR dan DPRD dari Sabang sampai Merauke. Jalan-jalan mulai dipenuhi oleh spanduk-spanduk kampanye. Masing-masing calon mengaku bahwa mereka adalah calon wakil rakyat yang paling baik, yang dapat mewakili harapan rakyat tempat mereka berasal. Di tengah huru-hara kampanye seperti ini, terkadang tidak mudah untuk mengenali dan membedakan mana calon pemimpin yang dapat dipercaya dan mana yang hanya omong kosong belaka, apalagi dengan begitu banyaknya calon karbitan yang bermunculan dalam sekejap tanpa kita ketahui rekam jejaknya.
Musa adalah seorang Ibrani yang dididik dalam pendidikan istana Firaun. Ketika ia beranjak dewasa, ia keluar untuk mengunjungi saudara-saudaranya, yaitu orang-orang Israel, dan melihat sendiri bagaimana mereka menderita oleh karena kerja paksa. Pikirnya, mungkin inilah saatnya ia menunjukkan kualitasnya sebagai seorang pemimpin bangsanya. Ketika ia melihat seorang Mesir memukul seorang Israel, ia membunuh orang Mesir tersebut dengan maksud untuk membela rekan sebangsanya. Keesokan harinya, ia keluar lagi dan kali ini ia mendapati dua orang Israel tengah berkelahi. Ia pun berusaha melerai mereka. Namun, salah seorang yang sedang berkelahi tersebut menolak campur tangan Musa, katanya, “Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami? Apakah engkau bermaksud membunuh aku, sama seperti engkau telah membunuh orang Mesir itu?” Siapakah Musa ini, sampai-sampai ia berpikir bahwa ia bisa mengatur-atur orang Israel begitu saja? Lebih parah lagi, ternyata sudah banyak yang tahu bahwa dirinya telah membunuh seorang Mesir hari sebelumnya. Ia pun ketakutan dan melarikan diri ke tanah Midian. (Kel 2:11-15, bdk. Kis 7:22-29)
Musa belajar sebuah kenyataan pahit bahwa tidak mudah untuk menjadi seorang pemimpin yang dapat diterima oleh bangsanya. Ia mesti mengasingkan diri di tanah Midian dan menjadi gembala domba di sana selama empat puluh tahun sebelum Allah mengutusnya kembali ke Mesir untuk membawa bangsa Israel keluar dari sana. Ia juga belajar bahwa ia tidak bisa main hakim sendiri begitu saja jika ia ingin menjadi seorang pemimpin umat. Pengalamannya ini akan membentuk karakternya sebagai seorang pemimpin di dalam menghadapi segala macam keluhan dari bangsanya nanti. Karena itu, penolakan dan kekecewaan tidak mesti berarti bahwa hidup kita telah menemui sebuah jalan buntu. Bisa jadi, itu cara Allah di dalam menempa kita sebelum Ia mengutus kita untuk ambil bagian dalam pekerjaanNya yang lebih besar. (SH)