S e l a
Ketika kita membaca kitab Mazmur, sebagian besar dari kita mungkin memperhatikan adanya kata yang terletak di margin teks tersebut, yaitu kata selah/sela. Kata ini digunakan sebanyak 74 kali dalam Perjanjian Lama, dimana sebagian besar (yaitu 71 kali) digunakan dalam kitab Mazmur. Arti kata ini sendiri tidak diketahui dengan pasti (ada yang berpendapat bahwa kata ini adalah tanda bagi jemaat untuk berhenti sejenak), namun pada umumnya akademisi Perjanjian Lama sepakat bahwa kata ini digunakan sebagai penanda dalam liturgi ibadah umat Israel saat itu. Contoh penggunaan kata selah dapat kita lihat di Mazmur 3, yaitu antara ayat 3 dengan 4, ayat 5 dengan 6, dan di akhir ayat 9, misalnya:
“Ya TUHAN, betapa banyaknya lawanku!
Banyak orang yang bangkit menyerang aku;
banyak orang yang berkata tentang aku:
“Baginya tidak ada pertolongan dari pada Allah.” S e l a
Tetapi Engkau, TUHAN, adalah perisai yang melindungi aku,
Engkaulah kemuliaanku dan yang mengangkat kepalaku.” (Mzm 3:2-4)
Dalam bukunya, Answering God: The Psalms as Tools for Prayer, Eugene Peterson menulis bahwa penggunaan kata selah sebagai penanda dalam liturgi ibadah umat Israel menunjukkan betapa mazmur-mazmur ini pada dasarnya merupakan doa sebuah komunitas:
“Mazmur adalah doa dari sebuah komunitas dalam penyembahan di hadapan Tuhan. Dengan kata lain, doa pada dasarnya bersifat liturgikal. Selah, yang tidak diterjemahkan dan tidak dapat diterjemahkan, dan berserakan di sepanjang kitab Mazmur, tidak akan membiarkan kita melupakannya. Jika maknanya adalah teka-teki, penggunaannya jelas: selah mengarahkan orang-orang yang berdoa bersama untuk melakukan sesuatu atau yang lainnya secara bersama-sama. Kitab Mazmur, buku doa kita, memiliki penanda liturgis ini di pinggirannya. Kita tidak diberi satu doa untuk ibadah pribadi. Komunitas dalam doa, bukan individu dalam doa, adalah yang dasar dan utama. Individu-individu tidak ‘menghasilkan’ komunitas, individulah yang dibentuk olehnya. Kitab Mazmur mengembalikan kita ke hakekat kemanusiaan dan spiritualitas yang sejati.” (Peterson, hal. 84)
Natur doa yang komunitarian ini pulalah yang kita temukan dalam doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, yang mengajarkan kita, “Bapa kami yang di sorga…”, yang juga mengingatkan kita akan hakekat kemanusiaan dan spiritualitas yang sejati, yaitu untuk menjadi pribadi dalam komunitas. (SH)