FENOMENA BLOOD MOON
Kemarin, Rabu, 31 Januari 2018, sekitar jam tujuh malam hujan masih menetes membasahi pelataran Gardens by the Bay. Orang-orang, penduduk lokal dan turis, tidak menghiraukan air hujan. Mereka mencari daerah terbuka yang cukup luas untuk dapat menatap langit karena hari itu, ya hanya hari itu, kira-kira jam 7:30 -10:30 malam, bulan akan tampil lain dari biasanya. Bulan akan berwarna merah dan tampak lebih besar dari biasanya, sebuah fenomena alam gerhana bulan yang disebut sebagai “super blue blood moon.”
Disebut demikian karena tiga hal: pertama, terjadi supermoon, yaitu bulan berada pada titik paling dekat dengan bumi; kedua, disebut sebagai blue moon karena ini adalah bulan purnama kedua dalam bulan Januari. Sebuah peristiwa langka karena biasanya purnama hanya terjadi satu kali dalam satu bulan; ketiga, terjadi gerhana bulan total sehingga bulan akan tampak berwarna oranye atau merah kecoklatan seperti tembaga. Itulah sebabnya disebut “blood moon”. Ketiga hal ini terjadi bersamaan dalam satu waktu sehingga disebut “super blue blood moon” dan ajaibnya, peristiwa ini baru dapat terjadi selang 152 tahun. Yang sebelumnya terjadi pada 31 Maret 1866. Tidak heran seluruh media dibanjiri berita dan gambar tentang fenomena ini. Jika ada peristiwa yang spektakuler, kita memang pasti ingin sekali menyaksikan dan menceritakannya.
Itulah sebabnya perempuan Samaria yang bertemu Yesus di tepi sumur itu (lih. Yoh.4:1-42) begitu takjub dengan apa yang disaksikan dan dialaminya. Perjumpaan dengan Yesus adalah hal yang spektakuler, paling tidak bagi dia. Itu sebabnya ia segera memberitakannya kepada orang-orang di sekelilingnya (ay.28-29), persis seperti orang-orang yang memposting gambar-gambar bulan di Jaman media sosial atau akun pribadi mereka. Pola yang sama juga terjadi dengan Zakheus (Lk.19:1-10), sebuah perjumpaan yang begitu spektakuler. Jika tidak terlihat spektakuler di luar, minimal itu sangat spektakuler di dalam hati dan jiwa Zakheus sehingga mengubahnya secara total, dari seorang pemungut cukai dan pendosa menjadi seorang yang menerima Tuhan dalam rumahnya dan memulihkan sesama dalam hidupnya. Yesus jelas bukanlah blood moon, tetapi perjumpaan dengan-Nya jauh lebih spektakuler dampaknya dibandingkan dengan menyaksikan blood moon.
Tetapi benarkah demikian? Benarkah perjumpaan dengan Yesus setiap hari membuat kita rindu bersaksi seperti yang dilakukan oleh perempuan Samaria dan orang banyak yang memposting foto dan video blood moon? Atau benarkah perjumpaan itu begitu spektakuler sehingga menyebabkan dampak yang mengubahkan hidup seperti Zakheus dan begitu dirasakan oleh orang lain?
Jika sebuah benda alam yang bersifat temporal dapat menyebabkan peristiwa yang begitu spektakuler, bayangkan sebesar apa skala pengaruhnya jika kini yang menyebabkan ialah Pencipta yang bersifat Kekal? Tapi mungkin kita perlu bertanya dalam keheningan: “Benarkah saya mengalami perjumpaan dengan Yesus?” Pada kedatangan-Nya yang kedua, Ia akan tampil bersinar, bahkan “bulan purnama akan tersipu-sipu, dan matahari terik akan mendapat malu, sebab TUHAN semesta alam akan memerintah di gunung Sion dan di Yerusalem dan Ia akan menunjukkan kemuliaan-Nya di depan tua-tua umat-Nya” (Yes.24:23) –yj.